Mohon tunggu...
Mutmainnah S. Sabrah
Mutmainnah S. Sabrah Mohon Tunggu... Lainnya - Mut

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perempuan dalam Dunia Perpolitikan

9 November 2020   21:39 Diperbarui: 9 November 2020   21:57 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perpolitikan di Indonesia semakin memuncak, bahkan perpolitikan ini kadang dikesampingkan peran perempuan, mengapa demikian? Karena budaya patriarkis telah menguasai bumi pertiwi.

Di saat perempuan Indonesia dipuji karena keterampilan kampanye mereka (lihat Eva Bande dan para petani Kendeng, yang baru saja memenangkan Penghargaan Yap Thiem Hien karena mengorganisasi protes untuk melindungi lingkungan), masih sangat disayangkan bahwa peran perempuan dalam politik Indonesia tidak menunjukkan kemajuan berarti. Hal ini sudah dimulai sejak rezim Orde Baru Soeharto mengambil alih takhta Sukarno---politik yang didominasi oleh laki-laki.

Apa yang membuat ini menjadi titik yang sulit? Lihatlah masa sekarang, lalu lihat kembali pada sejarah.

Menurut data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Dana Kependudukan PBB (UNPF), jumlah perempuan di Indonesia adalah 132 juta jiwa, dari total populasi 265 juta jiwa, atau sekitar 50  persen, seperti yang diharapkan. Namun sejak jatuhnya Soeharto hingga Pemilu 2014, jumlah perempuan yang telah menjadi anggota parlemen tidak pernah mencapai 30 persen.

Peraturan telah dikeluarkan dengan harapan meningkatkan jumlah perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada tahun 2002, misalnya, Undang-Undang Nomor 31 tentang Partai Politik, dan, pada tahun 2003, Undang-Undang Nomor 12 tentang Pemilihan Umum, keduanya berupaya meningkatkan proporsi keterwakilan perempuan di parlemen.

Peraturan semacam itu telah membantu, tetapi dengan cara yang tidak merata.

Pada Pemilu 1999, perempuan menduduki 44 kursi di DPR, atau hanya 8,8  persen dari total. Proporsi ini meningkat menjadi 65 kursi pada pemilu 2004, meningkat menjadi 11,8 persen secara keseluruhan. Representasi perempuan tertinggi adalah setelah Pemilu 2009, dengan proporsi 17,9 persen. Sayangnya, antara tahun 2014-2019, pertumbuhan jumlah anggota perempuan terhenti---dan bahkan mundur dalam hal proporsi total, menjadi 97 dari 560, atau 17,3 persen.

Kurangnya representasi memiliki konsekuensi yang lebih luas. Rendahnya jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam parlemen juga memengaruhi prioritas dalam peraturan yang akan menguntungkan perempuan di masyarakat. Sayangnya, aktivis perempuan masih berjuang untuk mendorong DPR untuk meratifikasi RUU kekerasan seksual---sebuah perjuangan penting dalam perang untuk mengakhiri unsur-unsur misoginis dari hukum Indonesia.

Tetapi bahkan RUU ini telah ditentang oleh perempuan Indonesia sendiri yang sejalan dengan kelompok ultra-konservatif. Dengan latar belakang meningkatnya fundamentalisme, populisme, dan militerisme di Indonesia, jelas masih banyak yang perlu dilakukan. Namun ada juga sejarah yang harus diatasi.

Pada tahun-tahun menjelang kemerdekaan, organisasi wanita di Indonesia berkembang setelah peluncuran Kongres Wanita Indonesia (Kowani) pada tahun 1945.

Selama era Soekarno (1945--1966), wanita menjadi beberapa politisi terkemuka di partai politik. Perempuan seperti Kartini Kartaradjasa dan Supeni terkenal di Partai Nasional Indonesia (PNI). Walandauw adalah tokoh terkemuka di Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Mahmuda Mawardi dan Wachid Hasyim menonjol di Partai Nadhlatul Ulama, dan Salawati Daud adalah sosok wanita terkenal dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun