Mohon tunggu...
Mutlaben Kapita
Mutlaben Kapita Mohon Tunggu... -

Hidup untuk memanusiakan manusia!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pelanggar Sumpah Jabatan

16 Mei 2019   08:53 Diperbarui: 16 Mei 2019   09:04 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


MENJADI pejabat publik baik di lembaga legislatif maupun di eksekutif ialah kehormatan besar yang mesti disyukuri dan dijaga mandat publik selama masa bakti. Biasanya sebelum memangku jabatan, pejabat publik mengikrarkan sumpah jabatan menurut keyakinan agama yang dianut. Sumpah jabatan yang dilafalkan merupakan ikrar kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk sedia melayani publik dengan seadil-adilnya.

Ikrar sumpah jabatan dalam pelantikan sebagai pejabat publik ialah cetusan pemikiran dari salah seorang filsuf Yunani yang terkenal yaitu, Pythagoras. Pythagoras ialah orang yang pertama kali menggagas dan mempraktikkan sumpah jabatan ini. Pada waktu itu dia meminta kepada seluruh calon politikus dan ilmuwan bersedia diambil sumpahnya supaya menjalankan jabatan yang disandangnya secara benar. Semangat yang dibangun di dalamnya adalah menjaga moralitas jabatan, yaitu pengabdian dan pelayanan. Sumpah jabatan ini kemudian dipraktikkan dari zaman ke zaman di semua negara termasuk Indonesia bahwa setiap pejabat publik sebelum memangku jabatan patut mengikrarkan sumpah di atas Kitab Suci sebagai ikrar pengabdian kepada publik dan terutama terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Pengucapan sumpah jabatan pejabat publik diawali dengan ucapan: "Demi Allah saya bersumpah" untuk agama Islam; "Demi Tuhan saya berjanji" dan diakhiri dengan ucapan "Semoga Tuhan Menolong Saya" untuk penganut agama Kristen Protestan/Katolik; "Om Atah Paramawisesa" untuk penganut agama Hindu; dan "Demi Sang Hyang Adhi Budha" untuk penganut agama Budha.

Isi sumpah jabatan oleh pejabat publik yang duduk di eksekutif dan legislatif memiliki esensi yang sama yaitu, berisi sumpah dan janji kepada publik dan teristimewa terhadap Tuhan Yang Maha Esa bahwa dalam melaksanakan tugas sejalan dasar konstitusi negara, menegakan keadilan, mengayomi publik dengan tidak diskriminatif antar golongan, mengupayakan segala kebutuhan publik yang dianggap mendesak, dan  terpenting menggaris bawahi dari sumpah yang diikrarkan ialah mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dari pada kepentingan pribadi.

Namun, jika dikorelasikan sumpah jabatan yang dilafalkan dengan realitas prilaku pejabat publik saat ini, tidak semua sepenuh menjaga sumpah jabatan yang diikrarkan. Sebab, faktanya tak sedikit pejabat publik sebagai pelanggar sumpah jabatan. Di maksud dengan pelanggar sumpah jabatan ialah pejabat publik yang kinerjanya hanya menguras uang negara untuk pemuasan kebutuhan pribadi, ketimbang kepentingan umum.

Sumpah jabatan seakan dianggap sebatas seremoni pelantikan, tanpa pemaknaan secara radikal bahwa ikrar yang dilafalkan ialah bersumpah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selaras itu, Kitab Suci seperti, Alkitab yang diangkat di atas kepala pejabat publik bagi yang beragama Kristen Protestan dan Katolik; Al-quran bagi pejabat publik beragama Islam; Weda bagi pejabat publik beragama Hindhu; Tripitaka bagi pejabat publik beragama Budha; ialah Kitab Suci yang berisi ajaran-ajaran agama tentang kehidupan dan memuat batasan-batasan tindakan manusia yang harus dipatuhi serta berisi ganjaran atas konsekuensi tindakan manusia yang melanggar titah Tuhan. Tampaknya pejabat publik tidak merasa terbeban dan ketakutan dalam diri bagi pejabat berprilaku koruptif. 

Hal tersebut membenarkan ungkapan oleh, Prof. Salim Said, dalam acara 'Indonesia Lawyers Club' mengatakan, "Ini negeri yang paling banyak melanggar sumpah ialah orang yang kita pilih. Kenapa Indonesia tidak maju, karena Indonesia Tuhan pun tidak ditakuti. Coba lihat orang [pejabat publik] yang masuk di KPK, semua berdiri di bawah Kitab Suci atau berpegang pada Bible, tapi dia langgar berarti tidak takut sama Tuhan."

Itu semua, uang adalah musababnya. Uang menjadi alat tukar yang sangat berpengaruh di kehidupan manusia. Ini dikarenakan, keberlanjutan kehidupan manusia sangat bergantung pada uang; uang bagai urat nadi kehidupan, di mana manusia tidak bisa bertahan hidup jika tanpa uang. Begitu berharganya uang dalam kehidupan manusia. Namun, tahukah Anda? Bahwa uang bisa memenjarakan manusia bahkan bisa membunuh dan menyetop kehidupan manusia di dunia.

Uang bisa membuat kehidupan manusia menjadi terhormat dan sebaliknya uang dapat membuat manusia menjadi terhina di depan sesama, jika manusia menjadi hamba uang. Uang dijadikan segalanya dan ajaran Agama pun bukan lagi sebagai fondasi kehidupan manusia dan juga dalam tugas seorang pejabat publik. Akibatnya, banyak pejabat publik terjerat kasus korupsi karena menghamba pada uang. 

Prilaku pejabat publik demikian merupakan pembenaran apa yang dikemukakan, Adam Smith bahwa manusia sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) ialah makhluk yang cenderung tidak pernah merasa puas dengan apa yang diperolehnya dan selalu berusaha secara terus menerus dalam memenuhi kebutuhannya; sehingga meskipun pejabat publik memiliki  harta yang berlimpah ruah, tetapi masih melanggar sumpah jabatan [korupsi] guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun