Mohon tunggu...
Mutlaben Kapita
Mutlaben Kapita Mohon Tunggu... -

Hidup untuk memanusiakan manusia!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyoal Golput

9 April 2019   13:35 Diperbarui: 9 April 2019   14:15 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


GOLONGAN PUTIH atau yang disingkat golput merupakan istilah politik di Indonesia yang berawal dari gerakan protes  para mahasiswa dan pemuda terhadap pelaksanaan Pemilu pertama tahun 1971 di era Orde Baru. Tokoh yang terkenal memimpin gerakan ini yaitu, Arief Budiman.

Namun, pencetus istilah "golput" ini sendiri adalah Imam Waluyo. Dipakai istilah "putih" karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta Pemilu bagi yang datang ke bilik suara.

Kini menjelang Pemilu, golput kembali menguat. Di mana, para barisan kaum sosialis-revolusioner masif mengkampanyekan golput sebagai bentuk protes atas ketidakpuasan kinerja pemerintah baik eksekutif maupun legislatif selama masa periodisasi. Tentu, ini suatu tindakan yang dijamin hak kebebasan untuk memberikan atau tidak turut berpartisipasi dalam pemilihan yang hendak berlangsung pada 17 April nanti.

Namun, selaku warga Negara yang sadar dan memahami hak dan tanggungjawab sosial, memberikan hak politik adalah wujud perhatian dalam menata dan memilih pemimpin Negara untuk memerintah masa periode mendatang, juga memberikan mandat kembali kepada anggota legislatif selaku representatif di lembaga legislatif masa bakti 2019-2024.

Ironi, kecewa dengan kinerja eksekutif dan legislatif periode sebelumnya, lalu memilih golput yang dinilai merupakan tindakan solutif. Padahal ini benar-benar gerakan yang tidak memberikan solutif substantif terhadap masalah sistem demokrasi yang tengah sedang berjalan "pincang". Kesannya, menginginkan suatu perubahan sistem demokrasi yang lebih baik ke depan, tetapi bukan memperbaiki malah bersikap abai dan lari dari masalah.

Sejalan itu, golput sejatinya bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan pelbagai masalah kebangsaan, tetapi golput adalah tindakan yang hanya menambah dan atau menyuburkan patologi demokrasi. Kenapa? Karena kampanye golput, dapat menumbuhkan sikap apatisme warga masyarakat dalam menyalurkan hak politiknya dalam pemilihan umum.

Golput, Patologi Demokrasi

Sebagaimana penulis mengurai sebelumnya, bahwa golput bukan pilihan solutif memperbaiki tatanan sistem demokrasi sedang berjalan "pincang", tetapi tindakan menyuburkan patologi demokrasi. Sekuennya, seruan golput bisa merambat  pada kelompok pemilih awam politik untuk tidak memberi hak politik, karena terpolarisasi dengan propaganda yang masif dilakukan. Implikasinya, angka partisipasi politik masyarakat akan merosot setiap pemilihan umum.

Ketika menurunnya angka partisipasi politik pada titik terendah dalam pesta demokrasi, karena kian tingginya angka golput, maka ini akan menjadi masalah serius dalam sistem demokrasi kita. 

Memang harus di hargai sikap kelompok golongan putih [golput] yang tidak memberikan hak politik pada Pemilu adalah hak kebebasan yang secara regulasi tidak mengatur dengan tegas kewajiban warga Negara harus memberikan hak politik dalam perhelatan pemilihan umum. Kecuali, adanya pemaksaan memengaruhi hak politik seseorang agar tidak disalurkan dalam Pemilu--dengan menawarkan berupa pemberian uang, maka ini bisa dijerat sanksi hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD, pasal 301. 

Tetapi tindakan tidak memilih atau ikut memilih, pada akhirnya proses demokrasi tetap berjalan dan pasti melahirkan pemimpin baru bersama dengan para legislator yang merupakan hasil dari proses pemilihan yang digelar serentak. Itulah sebabnya, efek golput tidak membawa pada suatu pola demokrasi yang berkualitas, melainkan tindakan pengabaian penggunaan hak politik dalam Pemilu yang berimplikasi pada pembiaran orang-orang yang tidak berintegritas dan bermental koruptif mengatur bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun