Mohon tunggu...
Mutlaben Kapita
Mutlaben Kapita Mohon Tunggu... -

Hidup untuk memanusiakan manusia!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konsumerisme dalam Perayaan Natal

5 Desember 2018   17:58 Diperbarui: 11 Februari 2019   18:10 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu tampak budaya konsumerisme mewabah pada prilaku kita dalam setiap perayaan Natal, sehingga kemampuan ekonomi bukan lagi menjadi ukuran dalam pemenuhan kebutuhan, karena konstruksi berpikir yang sudah terkontaminasi dengan tradisi perayaan Natal sejak dulu yang penuh materialis.

Akibatnya Natal yang sejatinya dirayakan secara sederhana, apa adanya, berubah menjadi hari raya yang amat mewah dengan membutuhkan keuangan (financial) yang besar, karena beragam kebutuhan material harus dipenuhi.

Ironisnya lagi, perayaan Natal kadang diselipkan dengan acara 'pesta'. Sehingga Natal yang sesungguhnya perayaan lahirnya putra tunggal Allah ke dunia dengan membawa kabar sukacita bagi seluruh umat yakni, misi pembebasan bagi kita dari belenggu dosa; malah kita menyambut dengan sukacita perayaan yang sifatnya hedonis.

Hal demikian mengakibatkan esensi Natal menjadi buram, sebab kita terperangkap pada jaring kapitalisme yang namanya konsumerisme.

Makna Natal

Bahwasanya perayaan Natal merupakan kegiatan keagamaan umat Kristen seluruh dunia yang dirayakan sebagai peringatan kisah lahirnya Yesus sebagai Sang Juru Selamat manusia. Melihat realitas, makna perayaan Natal mulai dikaburkan dengan sukacita budaya konsumerisme yang menjadi tujuan utama dalam perayaan Natal.

Padahal, perayaan Natal mestinya kita petik makna bahwa kelahiran Yesus di dalam palungan menyatakan pada kita tentang kesederhanaan; dan itu yang mestinya kita teladani dibalik kelahiran-Nya. (Lukas 2:12)

Olehnya itu, perayaan Natal tidak perlu berlebihan (mewah), sebab kemewahan yang tampak bukan menjadi tuntutan Allah kepada kita, melainkan kesederhanaan dan melihat kesungguhan hati merayakan akan kelahiran-Nya yang Allah butuhkan. (1 Sam 16:7)

Selain itu, Allah mengutus Anak-Nya datang ke dunia sebagai bukti nyata bahwa Dia begitu mengasihi kita, sehingga rela mengorbankan putra tunggal-Nya di salibkan hanya untuk membebaskan kita dari jeratan dosa. Maka, perayaan Natal bukan sekadar mengenang tetapi menjadi perenungan akan pengorbanan Allah kepada kita yang begitu besar.

Pengorbanan Allah harus kita balas setimpal kasih-Nya kepada kita dengan cara meneladani pribadi-Nya; bahwa kita harus rela berkorban untuk menyatakan kasih Allah kepada dunia dengan menjadi manusia yang saling menolong dan saling mengasihi antar sesama.

Apalagi dewasa ini, gereja-gereja dilanda beragam masalah baik secara internal bahkan eksternal. Perpecahan gereja pun tak terelakkan, sesama umat saling membenci, memusuhi, bahkan hingga berakhir pada kematian atas nama gereja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun