POLITIK UANG saat ini sedang marak terjadi dalam setiap perhelatan pesta demokrasi. Ini sudah menjadi masalah klasik yang menggerogoti demokrasi Indonesia.
Berdasarkan data Bawaslu kasus politik uang pada Pilkada sebelumnya sebanyak 35 kasus, kemudian belum lama ini Bawaslu merilis Indeks Kerawanan Pemilih (IKP) di tahun 2019, sebanyak 176 daerah kabupaten atau kota masuk dalam kategori rawan tinggi politik uang. Sementara sisanya sebanyak 338 daerah masuk kategori rawan sedang.
Tahun 2019, Indonesia kembali mengadakan pemilihan umum secara serentak yakni, pemilihan anggota legislatif bersamaan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.Â
Sebagaimana proyeksi Bawaslu bahwa di tahun 2019 masih tinggi rawan politik uang di 176 daerah kabupaten atau kota dan 338 daerah yang masuk kategori sedang. Itulah sebabnya butuh pencegahan praktik politik uang dalam pemilihan umum.
Musabab Politik Uang
Dalam realitas, praktik politik uang dalam setiap perhelatan pesta demokrasi sulit terhindarkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yang mengakibatkan maraknya politik uang yakni : Pertama, pengaruh kondisi ekonomi. Idealnya publik yang secara kebutuhan ekonomi sudah baik, sulit menerima politik uang yang diberikan oleh calon; sebaliknya publik yang secara latar belakang ekonomi yang belum baik, maka dengan mudah menerima politik uang.Â
Kedua, publik kecewa terhadap buruknya kinerja anggota legislatif. Olehnya itu, publik berpikir secara pintas bahwa menerima politik uang lebih baik, ketimbang menolak. Sebab, melihat dari pengalaman ketika publik sudah memberikan mandat terhadap anggota legislatif, namun dalam masa periodisasi tidak optimal menjalankan fungsi sebagai anggota legislatif.
Ketiga, rendahnya tingkat pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan pemilih, sehingga tidak tahu paramater atau indikator yang dipakai sebagai pijakan dalam memilih, akhirnya ketika ada tawaran uang dari calon atau tim sukses dengan mudah menerima.Â
Keempat, musabab lain maraknya politik uang dikarenakan munculnya politisi-politisi 'Makiavelis'. Makiavelis adalah sebutan bagi pegikut teori politik Niccolo Machiavelli.Â
Kita tahu bahwa Niccolo Machiavelli merupakan politikus dan diplomat asal Italia, yang pemikiran politiknya terkenal luas di abad ke -16 dan ke - 17. Menurutnya dalam perebutan kekuasaan, segala cara bisa dilakukan guna mencapai suatu tujuan yang di inginkan.
Dan di era sekarang ini banyak politisi 'Makiavelis'. Politisi tipikal ini menerapkan cara-cara yang tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi, termasuk menghalalkan politik uang sebagai cara untuk menggaet suara publik dalam pemilihan. Hal itu dilakukan sebagai stimulus dalam menduduki jabatan politik.Â
Edukasi Politik
Sebagaimana ulasan masalah yang penulis uraikan; maka untuk merawat demokrasi yang sehat dan mewujudkan demokrasi yang berkualitas, perlunya edukasi politik masif dilakukan. Edukasi politik merupakan langkah preventif untuk mencegah praktik politik uang.
Selaras itu, calon anggota legislatif harus menerapkan kampanye politik yang bersifat edukasi politik terhadap publik sebagai pemegang kedaulatan. Artinya, kedepankan kampanye politik yang edukatif yakni : Gagasan atau ide sebagai marketing politik yang di tawarkan kepada publik, dengan menghindarkan politik uang yang hanya meracuni dan mencederai demokrasi.
Demikian pula, Partai Politik dan penyelenggara pemilu harus memberikan pendidikan politik terhadap publik perihal penggunaan hak politik. Agar, dalam menggunakan hak politik tidak berdasarkan pada politik uang, tetapi atas dasar kualitas, rekam jejak dan integritas calon yang menjadi indikator dalam memilih.Â
Selain edukasi politik, diperlukan pengawasan penyelenggara pemilu dalam proses pesta demokrasi, guna menjaga tidak terjadinya praktik politik uang. Maraknya praktik politik uang karena lemahnya fungsi pengawasan penyelenggara pemilu. Untuk itu perlunya optimalisasi fungsi pengawasan penyelenggara pemilu dalam proses pemilihan.Â
Sekaligus menjaga independensi dalam menjalankan tugas, pula memegang prinsip profesionalitas sebagai penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) dengan menolak tegas politik uang.Â
Karena praktik politik uang bukan hanya terjadi di tataran pemilih tetapi juga rawan terjadi di penyelenggara pemilu. Di mana calon yang haus jabatan selalu melakukan berbagai cara agar bisa lolos atau menang dalam pertarungan, maka jalan yang di tempuh adalah melakukan transaksional dengan pihak penyelenggara. Itulah sebabnya, penyelenggara pemilu harus menjaga independensi dan profesionalitas guna mewujudkan demokrasi Indonesia yang berkualitas.
Pun demikian, perlunya kebijakan peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga yang belum baik, ini sebagai langkah untuk mengatasi praktik politik uang yang sedang marak. Karena apabila mengidentifikasi musabab maraknya politik uang dalam pemilihan, salah satunya karena dipengaruhi kondisi ekonomi yang di alami publik. Sebagaimana dikatakan oleh Choi (2009) bahwasanya pemilih dengan mudah menerima uang yang di tawarkan oleh politikus karena himpitan ekonomi.Â
Jadi politik uang merupakan racun demokrasi yang mesti di tolak. Karena politik uang dapat melunturkan nilai-nilai demokrasi, melemahkan akuntabilitas politik antara politisi dan pemilih, dan hanya melahirkan pemimpin atau anggota legislatif yang korup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H