Mohon tunggu...
Mutlaben Kapita
Mutlaben Kapita Mohon Tunggu... -

Hidup untuk memanusiakan manusia!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Uang Racun Demokrasi

25 November 2018   17:43 Diperbarui: 25 November 2018   19:59 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

POLITIK uang saat ini sedang marak terjadi dalam setiap perhelatan pesta demokrasi. Ini sudah menjadi masalah klasik yang menggerogoti demokrasi Indonesia. Berdasarkan data Bawaslu kasus politik uang pada Pilkada sebelumnya sebanyak 35 kasus, kemudian juga Bawaslu merilis Indeks Kerawanan Pemilih (IKP) di tahun 2019, sebanyak 176 daerah kabupaten atau kota masuk dalam kategori rawan tinggi politik uang. Sementara sisanya sebanyak 338 daerah masuk kategori rawan sedang.

Tahun 2019, Indonesia kembali mengadakan pemilihan umum secara serentak yakni, pemilihan anggota legislatif bersamaan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Sebagaimana proyeksi Bawaslu di atas bahwa di tahun 2019 masih tinggi rawan politik uang di 176 daerah kabupaten atau kota dan 338 daerah yang masuk kategori sedang. Itulah sebabnya butuh pencegahan praktik politik uang dalam pemilihan umum.

Musabab Politik Uang

Pada dasarnya politik uang merupakan 'Racun' demokrasi, yang mencederai kualitas demokrasi. Kualitas demokrasi akan baik, jika proses demokrasi berjalan sesuai koridor aturan yang berlaku. Namun realitasnya, praktik politik uang dalam setiap perhelatan pesta demokrasi tidak terhindarkan.

Hal ini, disebabkan oleh beberapa hal yang mengakibatkan maraknya politik uang yakni : Pertama, Pengaruh kondisi ekonomi. Idealnya, publik yang secara kebutuhan ekonomi sudah baik, maka sangat sulit menerima politik uang yang diberikan oleh calon; sebaliknya publik yang secara latar belakang ekonomi masih dalam kategori belum baik, maka dengan mudah menerima politik uang. 

Kedua, Publik resah atau kecewa terhadap buruknya kinerja anggota legislatif. Olehnya itu, publik berpikir secara pintas bahwa menerima politik uang lebih baik, ketimbang menolak. Sebab, melihat dari pengalaman ketika publik sudah memberikan mandat terhadap anggota legislatif, namun dalam masa periodisasi tidak tampak kinerja anggota legislatif.

Ketiga, rendahnya pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan pemilih, sehingga tidak tahu paramater atau indikator yang dipakai sebagai pijakan dalam memilih, akhirnya ketika ada tawaran uang dari calon atau tim sukses dengan mudah menerima. Hal senada  juga dikatakan oleh, Laothamatas (1996) bahwa pemilih menentukan pilihan berdasarkan tawaran konkret berupa uang. Pemilih demikian lebih mengutamakan terpenuhinya kebutuhan real dan bukan sesuatu yang abstrak seperti nilai-nilai demokrasi, karena tingkat pendidikan yang rendah.

Keempat, musabab lain maraknya politik uang dikarenakan lahirnya politisi-politisi 'Makiavelis'. Makiavelis adalah sebutan bagi pegikut teori politik Niccolo Machiavelli. Kita tahu bahwa Niccolo Machiavellis merupakan salah satu pemikir politik yang banyak memperdebatkan pemikiranya. Karena menurutnya dalam perebutan kekuasaan, segala cara bisa dilakukan guna mencapai suatu tujuan yang di inginkan.

Dan dii tahun 2019, politisi 'Machiavelis' tetap saja ada. Politisi tipikal ini, menerapkan cara-cara yang tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi, termasuk menghalalkan politik uang sebagai cara untuk menggaet suara publik dalam pemilihan. Hal itu dilakukan sebagai stimulus dalam menduduki jabatan politik. 

Edukasi Politik

Untuk merawat demokrasi yang sehat dan mewujudkan demokrasi yang berkualitas, maka edukasi politik harus masif dilakukan. 

Edukasi politik merupakan langkah preventif untuk mencegah terjadinya politik uang. Sejalan dengan hal tersebut, calon anggota legislatif harus menerapkan kampanye politik yang bersifat edukasi politik terhadap publik sebagai pemegang kedaulatan. Artinya, kedepankan kampanye politik yang edukatif yakni : Gagasan atau ide sebagai marketing politik yang di tawarkan kepada publik, bukan menerapkan kampanye politik yang meracuni dan cederai demokrasi (Politik Uang) hanya demi melanggengkan kekuasaan.

Demikian pula, Partai Politik dan penyelenggara pemilu harus memberikan pendidikan politik terhadap publik perihal penggunaan hak politik. Agar, dalam menggunakan hak politik tidak berdasarkan pada politik uang, tetapi atas dasar kualitas, rekam jejak dan integritas calon yang menjadi indikator dalam memilih. 

Selain edukasi politik, diperlukan pengawasan penyelenggara pemilu dalam proses pesta demokrasi, guna menjaga tidak terjadinya politik uang. Maraknya politik uang karena lemahnya fungsi pengawasan Bawaslu selaku bagian dari penyelenggara pemilu. Untuk itu perlunya optimalisasi fungsi pengawasan Bawaslu dalam proses pemilihan. 

Sekaligus menjaga independensi dalam menjalankan tugas dan juga memegang prinsip profesionalitas sebagai penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) dengan menolak politik uang. Karena politik uang bukan hanya terjadi di tataran pemilih tetapi juga sering terjadi di penyelenggara pemilu. Dimana, calon yang haus jabatan selalu melakukan berbagai cara agar bisa lolos atau menang dalam pertarungan, maka jalan yang di tempuh adalah melakukan transaksional dengan pihak penyelenggara. Itulah sebabnya, penyelenggara pemilu tetap menjaga profesionalitas guna mewujudkan demokrasi Indonesia yang berkualitas.

Pun demikian, perlunya kebijakan peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga yang belum baik, ini sebagai langkah untuk mengatasi politik uang yang sedang marak. Karena bila di identifikasi musabab maraknya politik uang dalam pemilihan, salah satunya karena pengaruh kondisi ekonomi yang di alami publik. Sebagaimana dikatakan oleh Choi (2009) bahwasanya pemilih dengan mudah menerima uang yang di tawarkan oleh politikus karena himpitan ekonomi. 

Jadi politik uang merupakan racun demokrasi yang mesti di tolak dengan cara edukasi politik terhadap publik; optimalisasi fungsi pengawasan oleh penyelenggara pemilu dalam pemilihan untuk mencegah praktik politik uang; serta perlunya peningkatan kesejahteraan ekonomi bagi publik selaku pemilih. Hal ini dilakukan untuk mencegah praktik politik uang,  karena politik uang dapat melunturkan nilai-nilai demokrasi, melemahkan akuntabilitas politik antara politisi dan pemilih, dan hanya melahirkan politisi yang korup. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun