Mohon tunggu...
Mutlaben Kapita
Mutlaben Kapita Mohon Tunggu... -

Hidup untuk memanusiakan manusia!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Korupsi Menggurita

18 November 2018   12:30 Diperbarui: 19 November 2018   00:10 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" Pemerintah harus menghadirkan solusi yang bukan hanya memangkas masalah korupsi tapi mestinya mematikan bibit korupsi agar benih - benih korupsi tidak tumbuh subur di Indonesia".

REFORMASI 1998 adalah momentum bersejarah. Melengserkan kepemimpinan diktator yang kala itu lama berkuasa (32 Tahun), setelah reformasi 1998 agenda - agenda besar yang di dengungkan selama perjuangan reformasi diharapkan dapat di wujudkan.

Salah satunya, Indonesia bebas, "Korupsi". Korupsi menjadi agenda penting kala itu, selain menolak, "Dwi fungsi ABRI". Dalam perjalanan era reformasi korupsi bukan hilang, malah menggurita. Jaket orange jadi laris dipakai para pejabat publik.

Padahal publik menaruh harapan pada pejabat publik untuk mengurus dan presur kepentingan publik, namun jabatan politik yang menjadi mandat publik mestinya digunakan untuk mengurus kepentingan publik, malah digunakan hanya menguras uang negara dengan cara memperkaya diri sendiri.

Sehingga, uang negara yang harusnya digunakan untuk kemaslahatan publik, malah diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Publik menjerit dengan himpitan masalah sosial yang berkepanjangan dalam kehidupan, sedangkan pejabat publik yang korup apatis dengan masalah sosial yang publik alami.

Indonesia Gawat Darurat Korupsi

Indonesia berada dalam zona, "Gawat darurat korupsi", setiap tahun media televisi dihiasi dengan berita kasus korupsi yang seakan menjadi tontonan menarik, juga publik merasa muak. Menarik sebab KPK sebagai lembaga anti rasuah dengan berani mengungkap kasus - kasus korupsi. Namun, publik pun merasa muak dengan tontonan prilaku pejabat publik yang korup.

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setidaknya telah menerima 3811 aduan masyarakat terkait kasus dugaan korupsi, sejak 1 Januari 2018 hingga 31 Agustus 2018. 

Dari 3.811 laporan tersebut, sebanyak 968 laporan telah selesai ditelaah. Selanjutnya sesuai data statistik Rekapitulasi Tindak Pidana Korupsi per 30 Juni 2018, di tahun 2018 KPK melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian: penyelidikan 84 perkara, penyidikan 93 perkara, penuntutan 63 perkara, inkracht 55 perkara, dan eksekusi 54 perkara.

Dari data di atas dapat dikatakan Indonesia sedang dilanda tsunami korupsi dan diperlukan solusi yang tepat untuk mengatasi. Sebab, sulit terwujud agenda reformasi Indonesia menjadi negara sukses (Maju dan mandiri), tatkalah patologi tersebut (Korupsi) tidak teratasi.

Realitas

Dalam realitas Pemerintah terlihat sulit mengatasi masalah korupsi, walaupun sudah ada regulasi perihal pemberantasan korupsi bahkan lahirnya lembaga pemberantasan korupsi dari rahim reformasi yaitu, Komisi Pemberantasan Korupsi. Setiap tahun lembaga tersebut, menangkap pejabat yang terjerat korupsi; ruang tahanan KPK dipenuhi dengan pejabat publik yang adalah pelayan publik. Begitu banyak dan deretan penangkapan yang dilakukan oleh KPK tidak membuat pejabat publik sadar dan menghentikan tindak korupsi.Tetapi, nyatanya pejabat publik yang bermental korup selalu ada dalam setiap era pemerintahan.

Disini lah timbul pertanyaan, mengapa setiap tahun KPK menangkap pejabat publik yang melakukan korupsi, akan tetapi prilaku korup pejabat publik tidak pernah surut bahkan semakin membludak ? Apakah solusi saat ini tidak mempan menjerat pelaku korupsi ?

Kedua pertanyaan kritis di atas yang menguat dalam benak publik. Karena secara regulasi telah di atur jerat hukum untuk pelaku korupsi, tapi tetap saja masalah korupsi menjalar dan mengakar di negara ini. Olehnya itu, Pemerintah harus mencari formula solusi yang tepat dalam rangka mengatasi masalah korupsi.

Ibaratnya, ketika pasien sedang mengalami penyakit katakanlah mengidap penyakit kanker, lalu dokter salah mendiagnosa sehingga salah juga memberikan obat pada pasien maka penyakit yang diderita pasien tidak akan sembuh, akibatnya penyakit yang di derita pasien akan semakin parah. Maka tentu sebagai dokter perlu mendiagnosa kembali guna mencari tahu penyakit yang sebenarnya; setelah itu baru memilih obat yang tepat yang dianggap bisa menyembuhkan penyakit.

Sama halnya juga mengatasi masalah korupsi. Dimana, selama ini KPK dengan kerja keras mengungkap kasus korupsi para pejabat publik, tetapi korupsi di Indonesia terus bertambah, dan banyak yang melakukan adalah pejabat publik. Ini menandakan Pemerintah harus mendeteksi  musabab korupsi dan mencarikan formula yang tepat.

Baca tulisan lain Mutlaben : Partai Politik Harus Selektif Rekomendasi Caleg

Menurut Syed Hussein Alatas, pakar Sosiologi. Ia mengatakan, musabab terjadinya korupsi dikarenakan beberapa hal : 1) Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi - posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakan korupsi; 2) Kelemahan ajaran - ajaran agama dan etika; 3) Kurangnya pendidikan; 4) Kemiskinan; 5) Tiadanya tindak hukum yang keras (berat); 6) Struktur pemerintahan.

Kaitanya dengan Indonesia yang menjadi salah satu negara yang rentan dengan masalah korupsi. Maka, sebagaimana beberapa musabab korupsi yang dikemukakan pakar Sosiologi, Syed Hussein Alatas di atas sangatlah jelas bahwa, suatu negara yang marak masalah korupsi karena lemahnya kepemimpinan yang di tempati pada posisi jabatan selaku penegak hukum; kemudian juga jerat hukum yang tidak keras atau ringan, sehingga masalah korupsi tumbuh subur dalam negara; kelemahan ajaran agama yang menjadi pijakan oleh generasi muda dan pejabat publik; serta struktur organisasi yang memberikan celah, para pejabat publik melakukan korupsi.

Dengan demikian Indonesia harus mengevaluasi kebijakan perihal pemberantasan korupsi, guna mendeteksi musabab masalah korupsi, barulah menghadirkan solusi yang dapat menghentikan pejabat publik melakukan tindak korupsi. 

Sebab, akutnya masalah korupsi di Indonesia, maka diperlukan solusi yang bukan hanya sifatnya represif tapi juga kebijakan yang preventif. Singkatnya, Pemerintah harus menghadirkan solusi yang bukan hanya memangkas masalah korupsi tapi mestinya mematikan bibit korupsi agar benih - benih korupsi tidak tumbuh subur di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun