Mufasir dianjurkan dalam keadaan suci secara lahir dan batin sebelum menafsirkan ayat Al-Qur'an. Ia juga harus menjaga keikhlasan hatinya dari sifat-sifat tercela seperti riya, hasad, dan ambisi pribadi.
7. Menghormati Keagungan Al-Qur'an
Sebagai kitab suci, Al-Qur'an harus diperlakukan dengan penghormatan yang tinggi. Dalam menafsirkan, mufasir harus membaca ayat dengan tajwid yang benar, tidak tergesa-gesa, dan penuh penghayatan.
8. Tidak Memaksakan Tafsir di Luar Kemampuannya
Seorang mufasir harus sadar akan keterbatasannya. Jika ia tidak memahami suatu ayat secara mendalam, lebih baik ia mengakui ketidaktahuannya daripada memberikan tafsir yang salah. Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa berkata tentang Al-Qur'an tanpa ilmu, maka hendaknya ia bersiap menempati tempatnya di neraka." (HR. Abu Dawud).
9. Memahami Konteks Sosial dan Budaya
Ketika menafsirkan Al-Qur'an, seorang mufasir harus mempertimbangkan konteks sosial dan budaya umatnya, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Hal ini untuk memastikan bahwa tafsirnya relevan dan dapat diterima oleh masyarakat.
10. Menghindari Perdebatan yang Tidak Perlu
Seorang mufasir harus menjauhi perdebatan atau polemik yang tidak bermanfaat, terutama jika perdebatan itu hanya untuk menunjukkan keunggulan dirinya. Fokus utama seorang mufasir adalah menyampaikan kebenaran, bukan memenangkan argumen.
Kesimpulan
Adab seorang mufasir adalah cerminan dari keagungan tugas yang diembannya. Dengan menjaga niat, ilmu, dan akhlaknya, mufasir dapat menjadi perantara yang baik dalam menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur'an kepada umat. Tafsir yang benar, disampaikan dengan adab yang tinggi, akan menjadi cahaya bagi umat dalam menjalani kehidupan sesuai dengan petunjuk Allah SWT.