Mohon tunggu...
Mutiara Khadijah
Mutiara Khadijah Mohon Tunggu... Writer -

Psikologi | Foundily Indonesia | Blood for Life Chapter Bandung | Mentality Health Indonesia | Beswan #29 | #SadarIndonesia

Selanjutnya

Tutup

Healthy

#FightStigma 2 : Autisme

8 Agustus 2015   20:53 Diperbarui: 8 Agustus 2015   20:53 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah menyaksikan salah satu cerita pendek dalam film Rectoverso yang diangkat dari novel karya Dewi Lestari? Satu dari lima cerita di dalamnya berkisah tentang cinta seorang dewasa-luar biasa terhadap seorang mahasiswi yang nge-kost di rumah ibunya. Sangat menyentuh. Tapi, kali ini saya tidak sedang berbagi mengenai jajaran film mengharukan, melainkan mengenai satu gangguan yang belakangan ini kerap jadi istilah dalam candaan orang banyak. Autisme. Cukup menyedihkan bahwa pada Ramadhan lalu, di salah satu stasiun televisi swasta, saat seorang Ustadz sedang berdakwah, mungkin beliau tidak ada maksud untuk melakukannya, beliau berujar, “Karena sibuk dengan ponsel, sibuk dengan gadget akhirnya autis sendiri.”

Autisme.

Dulu, tidak banyak masyarakat umum yang tahu mengenai gangguan perkembangan yang satu ini. Sehingga, stigma kembali tumbuh menjamur bahkan hingga dijadikan sebagai lelucon sehari-hari. Mungkin sama seperti Ustadz barusan yang melakukannya tanpa maksud sama sekali. Tapi, tahukah Anda bahwa Autisme bukanlah untuk bahan ejekan atau candaan? Apa yang membuat Autisme tidak bisa dianggap sebagai hal main-main?

 

Gangguan Perkembangan

Pervasive Developmental Disorders merupakan gangguan-gangguan kerusakan atau kelemahan (impairment) yang sifatnya parah dan selamanya pada beberapa area perkembangan seperti interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku, minat, serta aktivitas sehari-hari (Nolen, 2011). Salah satu gangguan perkembangan yang paling banyak menarik perhatian riset-riset adalah Autisme. Apakah autisme sama dengan keterbelakangan mental? Tidak. Beberapa anak yang mengalami autisme memang menunjukkan keterbelakangan mental dengan level ringan sampai berat, tapi menariknya, bahkan adapula anak autisme yang justru memiliki kelebihan luar biasa di bidang-bidang tertentu, Savant Autisme.

[caption caption="Beberapa Orang Autisme Memiliki Kemampuan Luar Biasa di Bidang Lain, Musik Misalnya."][/caption]

 

Autisme

Pada umumnya, mereka yang mengalami autisme akan mengalami penurunan pada tiga area. Satu, interaksi sosial. Anak autisme tidak dapat merespon dan berinteraksi dengan keluarganya sebagaimana mestinya. Mereka tidak tersenyum, tidak melakukan kontak mata saat dicandai oleh ayah dan ibunya, dan ketika mereka tumbuh lebih besar, mereka tidak memiliki ketertarikan untuk bermain bersama anak lain. Mereka juga tidak bisa merespon emosi orang lain.

Kedua, komunikasi. Lima puluh persen anak autisme tidak mengembangkan kemampuan bicaranya dengan baik. Jika pun iya, bahasa yang sudah mereka miliki, tidak dapat mereka gunakan dengan baik. Contohnya, anak tidak bisa merespon kalimat orang tuanya dengan jawabannya sendiri, anak hanya menggaungkan ulang kalimat orang tuanya. (echolalia).

Ketiga, minat dan aktivitas. Ketika usia anak biasanya sangat suka mengeksplor hal-hal di sekelilingnya, mencoba dan bermain dengan banyak benda atau hal, anak autisme cenderung hanya terpaku pada satu hal saja. Atau, mereka hanya tertarik pada hal detail yang tidak biasa. Misalnya, ketika anak-anak pada umumnya tertarik bermain boneka, anak autisme hanya tertarik untuk memainkan bagian lengan boneka itu saja. Terus menerus. Hal ini juga yang bisa kita lihat dalam film Rectoverso, ketika salah satu ‘koleksi’ kotak sabun Abang hilang, ia kemudian marah-marah, menangis, dan berlari ke jalanan. Rutinitas dan ritual adalah hal yang sangat penting bagi anak autisme. Ketika terjadi perubahan kecil saja pada hal yang menjadi rutinitasnya, mereka akan marah bukan main.

[caption caption="Terpaku pada hal-hal tidak biasa. (Courtesy of: Claremontpractice)"]

[/caption]

Seperti yang sudah sempat disinggung bahwa tidak semua anak autisme mengalami keterbelakangan mental. Meski begitu, 50 sampai 70 persen anak autisme menunjukkan hasil tes IQ yang tidak bagus. Mengapa demikian? Hal ini berkaitan dengan keterampilan yang harus dikembangkan seiring dengan berkembangnya kemampuan bahasa dan kemampuan melihat dari sudut pandang orang lain. Hal yang termasuk ke tiga area yang mengalami penurunan pada autisme.

 

Faktor Penyebab

Berdasarkan beberapa tokoh seperti Leo Kanner (1943) dan Battelheim (1967), biologis adalah faktor yang paling mungkin berkontribusi pada gangguan yang satu ini. Faktor biologis yang dimaksud adalah genetik, terjadinya kekacauan pada perkembangan dan organisasi bagian otak, penurunan struktur dan fungsi otak mencakup bagian otak besar, otak kecil, batang otak, hingga hipokampus.

 

Apa yang Terjadi pada Autisme?

Deteksi pada anak autisme bisa dilakukan sejak ia berusia 3 tahun. Anak autisme akan luar biasa kesulitan untuk terlibat dalam aktivitas yang berkaitan dengan persepsi atau penghayatan ekspresi wajah, joint attention atau menggabungkan atensi dengan orang lain (misalnya aktivitas belajar bersama di kelas), empati, atau berpikir mengenai situasi sosial. Itu sebabnya penurunan interaksi sosial menjadi salah satu hal yang dapat mengindikasi kemunculan gangguan autsime ini. Selain itu, anak yang mengalami gangguan perkembangan juga akan kesulitan untuk mengembangkan theory of mind. Apa itu theory of mind? Adalah kemampuan untuk memahami orang lain (Baron-Cohen, Swettenham, 1997). Theory of mind ini sangat penting untuk individu dapat beraktivitas sehari-hari. Karena, kemampuan inilah yang akan menjadi dasar untuk memahami, memprediksi, dan memanipulasi perilaku saat sedang bersama orang lain.

 

Perlakuan atau Treatment bagi Autisme

Salah satu hal yang cukup penting adalah perhatian orang tua. Orang tua harus memperhatikan perkembangan anaknya. Jika terjadi hal yang janggal di awal perkembangan anaknya, seperti anak tidak merespon candaan orang tua dengan cooing atau giggling, tidak melihat ke arah mata orang tua, tidak ada minat interaksi dengan anak lain, terpaku pada satu hal terus menerus, dan sebagainya, orang tua harus cepat tanggap dan mengkonsultasikannya pada pakar perkembangan, psikolog klinis anak, dokter anak, atau pihak yang mahir di bidang ini. Hal itu akan sangat membantu untuk pendeteksian dini.

Pemberian obat juga kerap dilakukan guna mengatasi beberapa simtom autisme, seperti untuk aktivitas yang berlebihan (mendadak marah atau semacamnya). Pemberian atypical antipsychotic medication untuk mengurangi perilaku repetitifnya, Naltrexone guna mengurangi hiperaktifnya, dan stimulan untuk meningkatkan atensi sebagai contohnya. Selain itu, terapi psikososial yang mengkombinasikan teknik behavioral dan layanan edukasi juga kerap dipilih sebagai treatment bagi anak-anak autisme.

 

Meski hanya sedikit yang saya bagi pada artikel kali ini, namun sudah cukup bisa dibayangkan bagaimana sedihnya jika salah satu dari sanak keluarga kita mengalami autime ini. Sama seperti seorang yang mengalami skizofrenia, tidak ada satu pun orang yang mau mengalami autisme. Bayangkan saja, hidup dengan hambatan dalam komunikasi, interaksi sosial, serta hal-hal penting dalam keseharian lainnya. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya, merespon secara tidak tepat pada hal-hal sederhana, serta hal lain yang tidak ada satu pun orang di dunia ini mengharapkan itu terjadi padanya ataupun pada keluarganya.

Jadi, jika Anda sudah membaca artikel ini, tolong beritahukan pula pada sekeliling Anda untuk berhenti mendiskriminasi anak autisme. Caranya mudah, mulailah dengan berhenti menggunakan candaan istilah Autis. Autism is not a joke.

----------

Referensi:

Susan Nolen. Abnormal Psychology Fifth Edition. 2011. New York: McGraw Hill Company.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun