Lebaran bulan lalu ,di sudut gang rumah nenek semua keluarga berkumpul. Keluarga besar lama tak jumpa datang. Sekarang lebaran bukan lagi hanya momen spiritual atau sekedar kumpul keluarga, tapi juga ajang pameran pencapaian diri dari masing masing keluarga.Â
Sepupuku yang dulu sama hebohnya denganku saat mendapat THR, kini berbalik yang memberikan THR. Keluarga yang lain berdecak kagum. " wah, sudah berhasil ya sekarang" kata nenekku. Ya, berhasil atau sukses, sesuatu pencapaian paling tinggi bagi society.
Lalu aku mulai berfikir, pencapaian apa yang telah digapai selama tujuh belas hidupku ini? Nonton drama korea dua puluh episode sehari? Atau baca novel roman picisan tamat dalam dua jam? . memang bukan hal yang bisa dibanggakan. Bukan hal yang bisa dijadikan topik pembahasan ibuku saat arisan dengan tetangga. Jika dipikir -- pikir lagi, kasihan juga orangtuaku.Â
Terbungkam saat orangtua lain memamerkan keberhasilan anaknya. Setidaknya adikku bisa cukup diandalkan kalau soal prestasi. Orang seringkali menceritakan segala hal dihidupnya sebagai inspirasi bagi orang lain. Saat itu aku hanya bocah SD yang terobsesi matematika.Â
Aku cukup bangga dengan hal itu. Maksudku, siapa yang tidak bangga saat yang lain membenci pelajaran itu, tapi aku sendiri malah menyukainya.senag rasanya menjadi special dipandang orang orang. Keluarlah ekspektasi -- ekspektasi liar soal menjadi orang sukses.Â
Aku ingin seperti dia yang sekolah ke luar negeri jadi kebanggaan bangsa. Aku ingin seperti dia yang juara olimpiade jadi kebanggaan sekolah. Karena itu aku ikut lomba sana sini. Pernah aku ikut lomba semacam lomba MIPA, mengerjakan soal seputar matematika dan IPA.Â
"Ibu yakin kamu bisa jadi kebanggan sekolah" perkataan wali kelasku saat kelas 3 SD ini cukup membuatku merinding. Kata -- kata motivasi itu berubah menjadi tekanan yang cukup berat bagi diriku yang masih cupu pada saat itu.Â
Aku bekajar, sampai sakit dan khawatir tidak bisa ikut lomba. Konyolnya dengan segala usaha mati matian itu aku gagal.Â
Lalu ku coba lagi saat SMP, diikutilah lomba olimpiade IPA. Tidak ada yang berbeda. Memang si anak cupu ini tidak kenal strategi saat bertarung. Mainnya nekat, mau ikut tarung sana sini agar asal kelihatan tangguh.Â
Padahal mental cupunya tidak beda jauh dari saatku SD. Ya, gagal lagi dan gagal lagi. Tapi memang si cupu ini bandel. Naifnya hingga berfikir " ini belum rezeki".Â
Aku tidak sadar kalau semua hal ini bukan soal rezeki, tapi soal usaha. Lalu ku coba mengikuti rekomendasi soal lomba cerpen. Aku tidak tahu apakah aku punya bakat soal menulis, tapi setidaknya menulis tidak lebih sulit dibanding berbicara dihadapan banyak orang.Â