Mohon tunggu...
Mutia Sari Sholikha
Mutia Sari Sholikha Mohon Tunggu... -

Meniatkan untuk kebajikan Bahagia dalam setiap kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kealpaan

4 September 2017   22:01 Diperbarui: 4 September 2017   22:10 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.wired.com

Kau tahu apa yang disebut dengan memantaskan diri?

Memantaskan diri adalah diriku sekarang. Aku yang berjuang menutupi berbagai kelemahan. Aku yang rela membuat siang dan malamku tak dapat dibedakan. Aku yang rela menahan banyak keinginanku untuk sementara waktu hanya untuk dapat menyandingmu. Memantaskan diri itu adalah aku.

Cinta memang perlu pengorbanan. Pengorbanan waktu, pikiran, tenaga, harta, bahkan rasa. Aku rela mengorbankan rasa rinduku demi rumah yang akan kubangun bersamamu. Ah, sudah-sudah, aku malah asik berpuisi ria.

Dia adalah Dinda. Perempuan yang telah kukagumi sejak lama. Sejak dia memilihku sebagai anggota kelompoknya saat kita kelas satu SMA dulu. Sesederhana itu aku bisa jatuh cinta padanya tapi memang begitu. Semua orang di kelas saat itu tak suka padaku. Mereka bilang aku terlalu sombong padahal kenyataanya tidak begitu. Aku hanya berbicara sepengetahuanku tanpa bermaksud menghina atau merendahkan pengetahuan mereka. Mereka juga bilang kalau aku adalah orang yang aneh hanya karena menyukai hal yang tak biasa mereka sukai, pelajaran FIsika. Dan mereka bilang aku egois padahal aku telah membagikan ilmuku pada mereka dalam banyak kesempatan. Tapi Dinda berbeda. Dia punya sudut pandangnya sendiri terhadapku sehingga ia pun memperlakukanku dengan special. Spesial bagiku.

Lahir dari kalangan keluarga berada membuatku cukup minder mendekatinya. Kasta kami terlampau jauh untuk bisa berdiri sejajar. Belum lagi dengan kepopulerannya karena parasnya. Apalagi dia juga baik, sopan, lembut. Dan dia juga pintar walaupun tak sepintar aku sehingga dia tidak dikucilkan dulu.

Ini sudah tahun kelima kita tidak berjumpa. Terakhir bertemu saat reuni SMA dulu, saat kita masih sama-sama duduk di bangku semester satu perkuliahan. Kudengar sekarang ia telah mapan, bekerja sebagai arsitek di perusahaan multinasional di Jakarta. Beberapa kali turut hadir dalam konferensi dan pameran nasional bahkan internasional. Aku juga mendengar kalau dia juga terjun dalam lembaga social. Setahuku ia pernah ditempatkan di Atambua setahun lamanya untuk mengajar. Dia berhasil mendirikan sebuah taman bacaan di sana khusus untuk orang tua. Sebuah pencapaian yang wajar dicapai oleh orang sepertinya. Dengan kebaikan yang sudah ia tanamkan dalam dirinya sejak dulu, dipupuk, dan dirawat dengan begitu apiknya maka semua ini bukan hal yang mengejutkan. Aku sudah menduganya dari awal. Bahwa kelak dia akan menjadi seseorang yang luar biasa dan karena itu aku selau sibuk bersiap menjadi yang pantas menyandingnya. Yah untung saja aku tak pernah ketinggalan info. Kalau tentangmu, handphoneku sudah hapal sehingga aktif memberitahu, dimanapun dan kapanpun.

Kini aku sudah siap. Aku tidak lagi seminder dulu ketika tahu bahwa ayah kau punya bisnis property di Abu Dhabi karena sekarang aku pun punya. Bukan property dan bukan di Abu Dhabi memang tapi aku rasa itu cukup untuk meyakinkan ayahmu untuk memilihku. Aku tak akan lagi malu ketika instagrammu ramai dengan komentar pujian karena foto candid perjuanganmu di Atambua yang kau pamerkan. Itu karena bukan cuma kau yang punya taman bacaan tapi aku pun punya.

Hanya saja tidak di Atambua cukup di Jakarta saja. Seandainya saja kau tahu bahwa di Jakarta pun masih banyak orang yang buta aksara mungkin kita bisa bertemu. Tentang teman-teman yang dulu mengucilkanku kau tidak perlu khawatir karena sekarang mereka segan padaku. Mereka menghormatiku yang telah memberikan mereka sumber penghidupan. Pada intinya aku siap sekarang untuk menemuimu. Untuk menjadikanmu sebagai pelengkap jiwaku. Sebagai teman dalam pagi, siang, malam, pagi, siang, malam yang hanya bisa berhenti karena waktu. Sebagai sahabat yang selalu menemaniku di pinggiran Jakarta ini untuk berbagi ilmu. Tentu saja kali ini tak ada yang menganggapku sombong. Aku ingin menemuimu esok hari. Menyampaikan maksud baikku kepadamu secara langsung di rumahmu sebelum akhirnya orang tua kita saling bertemu.

Perjalanan satu jam tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dandanku yang hari ini sangat lama. Bukan tidak siap, bukan. Hanya saja aku ingin kau melihat tekadku untuk benar-benar serius kepadamu. Sejak kau membalas chatku semalam bahwa kau ada di rumah maka sejak saat itu aku menyiapkan pakaianku. Satu jam ini tentu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dandanku. Dibandingkan dengan waktu yang kuhabiskan dalam pemantasan diriku. Dibandingkan dengan waktu yang kuhabiskan untuk update info tentangmu. Dan sekarang aku sudah berada di depan rumahmu. Berdiri gagah di ambang gerbang. Berjalan melintasi dua mobil yang terparkir di depan. "Mungkin ini mobilmu dan mobil ayahmu" pikirku. Aku tetap berjalan santai ke depan sampai akhirnya sampai di depan pintu. Kubunyikan lonceng tembaga yang ada di sebelah pintu lalu kau pun keluar. Berdiri dengan aggun dengan kebaya yang kau kenakan. Tapi tunggu, siapa tamu-tamu itu? Itu, mereka yang duduk di belakangmu?

Laki-laki dengan setelan batik itu siapa?

Kenapa mereka semua memperhatikanku?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun