Mohon tunggu...
Mutia Sari Sholikha
Mutia Sari Sholikha Mohon Tunggu... -

Meniatkan untuk kebajikan Bahagia dalam setiap kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu di Antara Malam Syahdu

2 September 2017   16:03 Diperbarui: 2 September 2017   16:20 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nyanyian syahdu ayat-ayat-Nya ramai menghias malam-malam panjang kota. Tak kurang dari lima puluh orang berjalan ringan menuju masjid tiap adzan berkumandang. Hati mereka sangat mudah tergerak. Ganjaran yang luar biasa membuat mereka lupa semuanya. Lupa akan pekerjaan yang terus menumpuk, lupa tentang jadwal apel malam minggu, lupa tentang arisan yang lebih banyak membicarakan aib orang dan pamer kekayaan, juga lupa tentang kehidupan duniawi yang selama ini menyelimuti mereka.

Berbeda halnya denganku. Budaya ramadhan yang biasa kutunaikan kini kutinggalkan. Rutinitas hari-hariku hanya kuhabiskan di ruangan 4x6 ini. Subuh yang biasa kulanjut dengan dziki hingga tiba dhuha kini kuganti dengan perjalanan kerja yang cukup menyita waktu. Siang yang bisa kumanfaatkan untuk tidur, mumpung berpahala, juga kuganti dengan rapat yang penuh dengan debat dan diskusi panjang. Pengajian sore jelang berbuka juga hilang dengan jadwal ngabuburit dengan teman yang sepenanggungan denganku. Masuk dari satu warung ke warung lainnya. Berburu makanan dan minuman sebanyak-banyaknya hanya untuk memuaskan mata yang kelaparan dan gagal puasa ini. Tadarus ba'da maghrib pun tergantikan dengan tontonan layar komputer yang sebenarnya tak pernah mati sepanjang hari. Waktu tarawih dan shalat isya kutabrak, kuganti sebelum tidur. Yah, setidaknya ini bukan pertama kalinya jadi aku sudah mulai terbiasa dengan hal aneh seperti ini. Tapi yang membuatku merasa benci dengan hal ini adalah karena jadwal lebaranku yang juga turut terganggu.

Lebaran kali ini bukanlah lebaran yang menyenangkan bagiku. Pekerjaanku seabrek. Belasan stop map sudah mengantri di mejaku. Aku sampai bingung, stopmap mana yang harus kusentuh lebih dulu. Semua bersifat mendesak. Ada stopmap kuning yang masih berisi beberapa proposal sponsorship yang harus kuseleksi. Juga stopmap hijau yang masih menyimpan semua surat-surat yang berhubungan proyekku. Atau stopmap biru, yang setia menemaniku setiap bulan dan memang tidak akan pernah selesai.

"Liburan besok bisa kan kau selesaikan proyek barumu dengan saya?", tanya atasanku di minggu terakhir bulan ramadhan.

"Ehm, apa kita tidak bisa memberikan kesempatan bagi yang lain untuk bisa berkontribusi lebih di perusahaan ini Pak?", kataku dengan spontan.

Jelas ini bukan berita bagus. Lalu untuk apa semua jadwal silaturahmi yang kususun selama ini. Bukankah ini pertanda bahwa tidak ada kata libur untuk lebaran besok? Ayolah, siapa yang tidak ingin merayakan hari paling indah sepanjang tahun itu. Hari dimana kita bisa me-restartsemua permainan kita. Dosa kembali dinolkan sementara pahala datang dalam jumlah ribuan.

"Kau ini bicara apa? Ini bukan proyek kecil yang bisa diserahkan ke sembarang orang. Saya sudah cukup tahu track record kamu, jadi saya tidak akan ragu."

"Tapi..."

"Tak ada tapi-tapian. Ini kesempatan bagus untukmu. Di sini kamu bisa membuktikan bahwa kamu layak bersanding dengan saya, jadi buktikanlah!" Katanya seolah tak ada celah bagiku untuk mengelak kembali dan benar, memang tak ada.

Pulang dari kantor, bukan perasaan senang yang kudapat tapi justru beban yang amat berat. Ingin sekali rasanya aku bisa terbebas dari semua tanggung jawab. Rutinitas melelahkan yang memang tak akan pernah bisa berhenti. Persaingan antar perusahaan swasta membuat kita harus selalu siap untuk bersaing dengan kompetisi. Sehat atau tidak sehat bukanlah hal yang penting asal pasar bisa dikuasai. Tuntutan inilah yang terus mendorongku untuk kerja rodi selama dua tahun. Sebenarnya dengan atau tanpa label swasta pada perusahaan aku juga tetap bekerja keras tapi tidak sekeras sekarang. Aku jadi ingat memori dua tahun lalu. Kala itu pekerjaan ini sangat bergengsi untukku. Bagaimana tidak, jika ini adalah pekerjaan pertama yang sesuai dengan tittle yang kudapat. Gajinya juga menggiurkan. Meskipun aku harus beberapa kali diserbu dengan pertanyaan dari ibu dan kak Ine yang sebenarnya sama, "Yakin?" Wajar, karena akulah yang bercerita kepada mereka setiap hari dengan kenyamananku dalam pekerjaanku waktu itu. Walaupun gajinya yang tidak seberapa tapi kenyamanan itulah yang mahal harganya dan mungkin tidak bisa kudapatkan dari tempat lain. Namun setiap kali pertanyaan itu dilemparkan padaku aku sudah siap dengan jawaban jitu.

"Sebenarnya siapa sih yang ngga yakin? Aku apa kamu?" Persis, itu juga yang kukatakan pada ibuku, hanya saja ditambah dengan sedikit editan di sana sini. Dengan itulah mereka diam dan percaya padaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun