Mohon tunggu...
Mutia Sari Sholikha
Mutia Sari Sholikha Mohon Tunggu... -

Meniatkan untuk kebajikan Bahagia dalam setiap kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ramadan Sasa

26 Agustus 2017   16:32 Diperbarui: 27 Agustus 2017   02:59 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu memang tidak pernah berhenti barang sedetikpun. Memberikan kesenggangan kepada Sasa yang sudah seminggu ini ngos-ngosan. Ngurusin ini, ngurusin itu. Dia sangat ingin berhenti sejenak saja untuk mendinginkan otaknya yang sudah kepanasan memikirkan segala tanggung jawabnya. Ia juga terlihat sangat lelah karena harus wira-wirimengurusi semuanya. Belum lagi mengurusi oknum-oknum tak bertanggung jawab yang hanya mau cari nama di kepanitiaan, hanya demi keeksisan atau selembar sertifikat.

Belum lagi ujian. Ah, iya bahkan saking sibuknya ujian pun tidak terasa, seperti kuliah biasa saja. Selesai ujian langsung kumpul dengan teman-temannya, briefing untuk acara. Padahal besok pagi ia sudah harus siap mengikuti ujian Proses Kimia yang minta ampun sulitnya.

Satu lagi yang juga ia lupa. Puasa, ia bahkan tak tahu lagi apa bedanya bulan Ramadhan dengan kesebelas bulan lainnya. Aktivitasnya masih sama saja, ibadahnya cuma ketambahan puasa dan tarawih. Lalu apa bedanya? Entahlah, ia terlalu sibuk untuk mencari perbedaan bulan Ramadhan dengan bulan lainnya. Masih banyak hal yang harus ia tuntaskan.

Apalagi hari ini. Undangan yang sudah susah payah ia buat terbang entah ke mana.

"Humasnya mana?" tanya pak ketua yang memimpin rapat di depan.

"Saya kak," jawab Anton, satu-satunya anggota humas yang hadir.

"Suratnya yang kemarin udah dikasih ke mana aja? Kenapa sampe ada yang bilang kalo masjid Mardiyah belum kebagian?"

"Wah, saya kurang tahu kak, itu bukan bagian saya."

"Ya udah daripada ribet, mending sekarang sekretaris buatin surat lagi aja." Usul coordinator acara yang langsung saja nimbrung. Tapi pak ketua langsung menyetujui.

Sasa hanya diam, tidak mengangguk juga tidak menggeleng. Sebenarnya mudah saja baginya untuk mencetak surat itu lagi tapi... Tapi apa mungkin setiap kali rapat tidak ada hasil koordinasi yang baik seperti ini? Setiap rapat yang hadir hanya orang-orang ini saja? Tidak mungkin terjadi koordinasi yang baik kalau seperti ini caranya. Selalu saja ada yang beralasan, tugaslah, tabrakan dengan jadwal lainlah, rapat lain, sakit, dan bahkan alasan yang paling tidak bermutu, ketiduran. Tapi pak ketua tidak bisa berkutik. Bergerak jika coordinator acara sudah meminta lalu siapa yang sebenarnya ketua?

Apa yang dikhawatirkan Sasa terbukti. Hari H acara tidak banyak yang bisa dibanggakan. Kecuali satu, jumlah peserta essay yang cukup banyak meskipun tetap saja tak memenuhi target. Selain itu, buruk seluruhnya. Koor acara seperti bekerja sendiri, ke sana kemari ribut sendiri. Humas kebingungan dengan tugasnya sendiri. Konsumsi untuk panitia kekurangan karena satu-dua orang yang egois meminta jatah makannya ditambah. Evaluasi langsung ditunaikan seusai acara. Bukan karena banyak hal yang perlu diperbaiki tapi hanya untuk kepuasan agar besok tak ada beban lagi. 

Sasa bingung, kenapa untuk acara-acara yang bersifat umum mereka sangat totalitas sedangkan untuk acara-acara keagamaan seperti ini mereka sama sekali tak semangat. Sasa juga heran karena acara ini adalah acara keagamaan tapi malah membuat jadwal tilawahnya kacau berantakan.

Hari demi hari berlalu. Di hari-hari terakhir Ramadhan Sasa manfaatkan untuk mengerjakan tugas dengan kelompoknya. Tugas-tugas yang tertunda berminggu-minggu lamanya karena event-event yang memang sedang ramai diselenggarakan kampus.  Ia harus segera menyelesaikannya kalau tak mau liburannya terganggu. Alhasil habislah ramadhannya. Tugasnya memang selesai. Ujiannya selesai. Acaranya selesai. Tapi apa yang Sasa dapat selain kelegaan karena semuanya sudah selesai?

Tak ada.

Sasa tak mendapat apa-apa selainnya. Tugasnya mendapat nilai buruk. Ujiannya apalagi, IP nya terjun bebas. Acaranya? Tahu sendiri bagaimana. Dan lebih buruknya lagi, ia baru sadar ketika idul fitri datang. Ia baru sadar kalau bulan ramadhan telah pergi. Lalu apa yang sudah dilakukannya sebulan ini? Puasanya hanya dalam rangka menggugurkan kewajiban. Tarawihnya formalitas pelengkap shalat isya'.  Tilawahnya kadang-kadang, dhuha hanya kalau ada waktu luang.

"Ahhhhhh.....Dasar bodoh!!" katanya kepada diri sendiri.

Drama menyedihkan itu berakhir ketika ia melakukan sungkem dengan ibunya. Di pangkuan ibunya, di telapak tangan ibunya yang memeluk tangannya, ia menangis sejadi-jadinya. Bukan hanya karena merasa bersalah kepada ibunya tapi juga merasa bersalah dengan Tuhannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun