Sebenarnya panitia ini harus menyelesaikan tugas selambat-lambatnya tanggal 28 februari 1993, namun karena keinginan bekerja lebih rapih dan lebih teliti, maka panitia masi terus menerus mengadakan diskusi-diskusi lanjutan dengan mengundang paratisipan yang lebih luas.
Pada akhir tibalah saat peresmian tanggal 21 oktober 1993 dengan namanya Badan Arbitrase Muamalah Indonesia, yang disingkat BAMUI). Peremiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris Yudo Paripurno, S.H. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo masing-masing sebagai ketua umum dan skretaris umum dewan pimpinan MUI.
Sebagai saksi ikut menandatangani akta notaris masing-masing H.M.Soedjono, ketua MUI dan H. Zainulbahar Noor, S.E., direktr bank muamalat Indonesia saat itu. BAMUI tetsebut diketuai oleh H. Hartono Mardjono, S.H., sampai beliau wafat tahun 2003. "setelah penandatanganan akta dilanjutkan dengan penandatanganan anggaran rumah tangga dan sekaligus peraturan prosedur baracara.Â
Lalu pelantikan dewan pengurus dan diakhiri perkenalan para arbiter tetap. 10 taun BAMUI menjalankan perannya dan para pengurus sudah banyak yang meninggal dunia.
Dalam undang-undang No 16 tahun 2001 tentang yayasan sudah tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI maka atas keputusan rapat dewan pimpinan MUI Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003, nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) di ubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil REKERNAS MUI, yang di ketuai oleh H. Yudo Paripurno, S.H.
Kehadiran Basyarnas sangat diharapkan oleh umat Islam di Indonesia, karena menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan dikalangan umat. Tujuan didirikannya sebagai badan permanen dan independen yang terdapat dalam pasal 4 :
(1) memberikan penyelesaian yang adil dan cepat kemungkinan terjadinya dalam sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam.
(2) menerima Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Lembaga Arbitrase. Didalam UU No 7 tahun 1992 tentang perbankan belum di atur mengenai bank syariah, tetapi dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju di perlukan pemyesuaina kebijakan dibidang ekonomi, termasuk perbankan.
Memasuki era globalisasi dan perjanjian internasional di bidang perdagangan dan jasa maka sektor perbankan membuat undang-undang No 10 tahun 1998 tentang perubahan undang-undang atas nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan yang mengatur perbankan syariah, setelah beroperasi secara syariah lalu timbuk bank-bank baru yang beroperasi secara syariah.
Dengan adanya bank-bank baru ini maka dimungkinkan terjadinya sengketa-sengketa antara bank syariah dengan nasabahnya, sehingga DSN mengeluarkan fatwa-fatwa kepastian hukum setiap akad-akad di cantumkan klausal arbitrase dalam perbankan syariah.
Jika terdapat sengketa-sengketa diantara perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah dengan nasabah maka penyelesaiannya harus melalui basyarnas. Basyarnas berdiri secara ontonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, dari dalam lingkungan syariah maupun pihak lain dari kalangan non muslim dapat memanfaatkan basyarnas selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa.