Mohon tunggu...
Mutia Ridha
Mutia Ridha Mohon Tunggu... Penulis - I am only human

Keep CALM and WRITE on!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Review Buku "Menuju Pemikiran Filsafat"

10 Februari 2020   04:24 Diperbarui: 10 Februari 2020   04:48 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
katalog-pustaka.iainbukittinggi.ac.id

Dalam pemikiran ilmiah modern, relasi pengetahuan dan kekuasaan mendapat perhatian yang utama dalam kajian yang dilakukan oleh Foucault. Foucault adalah seorang ilmuwan Barat modern yang konsen kajian-kajiannya pada persoalan relasi pengetahuan dan kekuasaan.

Meskipun Foucault ini bukan orang muslim, tetapi pemikirannya mungkin patut dikaji dalam konteks ini. Kita dalam hal ini perlu mneggunakan ungkapan yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib RA "undzur ma qaala wa laa tandzur man qaala". Lihatlah apa yang dikatakan, dan jangan melihat siapa yang mengatakan.

Ungkapan kearifan ini sangat penting disampaikan agar kita memiliki watak yang terbuka terhadap informasi apapun dan dari manapun tanpa terjerembab pada selubung "etnosentrisme" atau penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan standar budaya sendiri.

Tentu kita tidak bersifat taqlid semata hanya mengikuti pikiran orang lain. Sikap kritis tetaplah diperlukan. Apakah sebuah informasi tersebut memiliki relevansi dengan apa yang kita perlukan untuk memperluas cakrawala pengetahuan.

Tidak jarang terbersit dalam pikiran kita sebuah pertanyaan apa pengetahuan itu? Bagaimana pengetahuan diperoleh? Mengapa manusia berpengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini sering muncul dan kita pun berusaha untuk mencari jawabannya. Sebelum kita mengkaji tentang apa pengetahuan, ada baiknya dijawab terlebih dahulu kemungkinan manusia mendapat pengetahuan.

Beberapa waktu sebelum diciptakan, Nabi Adam AS telah dikukuhkan sebagai khalifah di bumi. Sebagai khalifah, tentu saja ia memiliki keistimewaan dibandingkan dengan makhluk lain, terlebih ia adalah khalifah dari Sang Pencipta, Allah SWT. Manusia adalah makhluk yang diciptakan dalam bentuknya yang sangat sempurna.

Manusia telah dibekali oleh Allah SWT dengan beragam alat pengetahuan yaitu: panca indra, akal, dan hati. Ketiga alat pengetahuan manusia itu merupakan modal dasar yang sangat penting bagi manusia dan memungkinkannya untuk mendapatkan pengetahuan.

Tetapi, kemampuan tahu tersebut bersifat statis. Untuk mengubahnya menjadi dinamis, diperlukan daya pendorong, yaitu keinginan tahu. Mampu tahu dan keinginan tahu berpadu saling membutuhkan. Tanpa kemampuan, keinginan tak akan terwujud. Dan tanpa keinginan, kemampuan pun tak akan tumbuh.

Tidak mengherankan jika para ahli seperti Ibn Sina mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki tujuh kemampuan, satu diantaranya adalah memiliki kemampuan untuk mengetahui apa ada yang disekitarnya.

Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah mahkluk yang mampu berbicara dan mengeluarkan pendapat dengan akalnya.

Beerling (1996) mengatakan manusia adalah makhluk yang suka bertanya (Anshari, 1979:13)

Dari semua pendapat yang dikemukakan diatas semuanya mempertegas kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang dibekali dengan kemampuan untuk bertanya dan rasa ingin tahu (the will to know).

Hasrat keingi-tahuan manusia dapat melingkupi segala hal yang ada. Inilah kehebatan yang dimiliki manusia. Dengan kehebatan yang dimilikinya dan rasa keinginan tahu yang melengkapinya manusia berpotensi untuk menghasilkan beragam pengetahuan yangs sedemikian luar biasa.

Pengetahuan manusia memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan pengetahuan yang pertama disebut dengan pengetahuan indrawi. Pengetahuan indrawi ini merupakan pengetahuan yang digunakan untuk menjawab rasa penasaran manusia tetapi hanya didasarkan pada penyerapan indrawi. Misalnya ada sebuah pertanyaan tentang apa itu hujan? Maka dalam perspektif pengetahuan indrawi dapat dijawab dengan: air yang turun dari langit.

Tingkatan pengetahuan yang kedua disebut dengan pengetahuan ilmiah (science). Pada tingakatan ini manusia lebih terdorong untuk memiliki pengetahuan yang lebih mendalam dari sekedar apa yang tertangkap indra.

Misalnya jika tadi pada tingkatan pertama yang ditanyakan hanyalah sebatas apa itu hujan? Maka pada tingkatan ini pertanyaannya terkait dengan bagaimana proses terjadinya hujan.

Dan tingkatan pengetahuan yang terakhir yaitu pengetahuan filosofis (philosophy). Asy'ari (1997) menyatakan bahwa filsafat adalah upaya manusia untuk memahami sesuatu pada dataran makna yang diperoleh melalui penalaran rasional.

Sedangkan dalam konteks masyarakat beragama, tiga tingakatan tersebut masih dilengkapi dengan tingkatan pengetahuan yang keempat yaitu pengetahuan agama. Pengetahuan agama adalah pengetahuan yang berdasarkan wahyu.

Dalam kenyataan hidup ini terdapat pengetahuan yang harus diinformasikan keberadaanya seperti pengetahuan tentang adanya hari pembalasan dan adanya kebangkitan manusia setelah meninggal dunia (poedjawjatna, 2002:4).

Keempat model pengetahuan diatas menjadikan rasa keingin-tahuan manusia kemungkinan besar akan dapat terpenuhi. Adakalanya persoalan yang dihadapi manusia cukup diselesaikan dengan pengetahuan indrawi. Tetapi adakalanya perlu diselesaikan dengan pengetahuan ilmiah, filsafat, dan juga agama (wahyu). Semua tergantung pada tingkat kebutuhan manusia.

Demikian juga dapat kita ambil hikmah dari sunnah Rasul saw. bahwa tatkala ada seorang Badui bertanya kepada beliau dimana Allah SWT? Nabi saw hanya menunjuk keatas. Beliau tidak menjelaskan dengan pemaparan yang panjang. Demikian juga tatkala Nabi saw. sedang mengatur strategi perang.

Ada seorang sahabat yang bertanya, apakah strategi yang dikemukakan beliau itu wahyu atau ijtihad beliau, maka beliau menjawab sebagai ijtihad. Karena ijtihad beliau, maka sahabat pun memberikan masukan tentang strategi perang tersebut.

Wijaya (2009:1) menjelaskan bahwa dalam proses sejarah setidaknya ada dua model yang dilakukan manusia dalam memahami al-Qur'an: pertama, pendekatan yang menggunakan perangkat analisis yang berasal dari disiplin Islam yang umumnya dipakai dalam tradisi teologi, fiqh, dan tasawuf; kedua, pendekatan yang menggunakan perangkat dari luar disiplin Islam yang dipakai dalam filsafat.

Meskipun kita bisa mempertanyakan pemisahan ini, tetapi pembagian yang dibuat Wijaya ini setidaknya memberikan kemudahan dalam kategorisasi dalam melihat model pendekatan pemahaman Islam yang berangkat dari realitas pemisahan syari'ah dan filsafat.

Kalau kita merujuk pada al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang mendorong manusia untuk menggunakan penalaran rasional. Seperti pada ayat dibawah ini:

.

  .

"Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan serta bagaimana kangit ditinggikan?" (al-Ghasiyyah [88]: 17-18)

Bahkan, melalui penalaran rasional atas objek-objek eksternal diluar manusia akan dapat mengantarkan mnausia pada Allah swt. Al-Qur'an seringkali memerintahkan manusia untuk mengambil ibarah atau i'tibar seperti yang tertuang dalam Q.S. al-hasr, 59:2 "Maka ambillah ibarat wahai ulil abshar".

Kata i'tibar menurut ahli kalam dan fuqaha' disebut dengan mengambil i'tibar dari sesuatu yang sudah diketahui kepada sesuatu yang belum diketahui. Itulah sebabnya, dalam perspektif  Ibn Rusyd pemikiran rasional manusia atas alam semesta dapat mengantarkan manusia pada penalaran atas wujud Allah swt. Inilah yang dalam perspektifnya disebut dalil inayah.

Filsafat Islam adalah (bersifat) Islam, bukan hanya karena ia dikembangkan di dunia Islam dan dilakukan oleh kaum Muslim, melainkan juga karena menjabarkan prinsip-prinsip dan menimba inspirasi dari sumber-sumber ajaran Islam (al-Qu'an dan Sunnah).

Semua filsuf Islam hidup dan bernapas di dalam sebuah dunia yang di dominasi oleh sumber-sumber ajaran Islam. Hampir semuanya hidup berdasar pada syaria'ah Islam dan shalat menghadap kiblat.

Sumber ajaran Islam telah mengarahkan pada sejenis filsafat yang menempatkan kitab wahyu bukan sekedar sumber tertinggi hukum keagamaan, tetapi juga bagi hakikat eksistensi dan sumber segala eksistensi. Tidaklah mengherankan jika dicermati bahwa hasanah pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat disinari oleh ajaran-ajaran Islam yang merupakan fondasi pertama dan utama.

Meskipun filsafat Islam terpengaruh dari pemikiran Yunani dan Helenisme, bukan berarti filsafat Islam adalah pengulangan pemikiran filsafat sebelumnya. Hal ini tidak lain karena beberapa hal: (a) Filsafat Islam berasaskan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw. (b) Isu-isu dalam filsafat dir respon dalam perspektif  "nur-Islam", (c) terdapat problem-problem khas yang merupakan karya orisinil para filsuf Islam. waallahu a'lam[]

Mengkaji filsafat adalah ibarat memasuki belantara yang sedemikian luas. Karenanya, tidak jarang bagi mereka yang baru berkenalan dengan filsafat menjadi bingung dibuatnya. Untuk itu, dibuatlah ilustrasi bahwa belajar filsafat laksana kita melakukan anatomi sebuah pohon: ada akar, batang, cabang, ranting, daun, dan buah.

Akar filsafat dalam ilustrasi pohon filsafat sebagai bentuk simbol darimana seseorang mulai berfilsafat. Dalam hal ini ada empat hal yang menjadi pangkal orang berfilsafat yaitu: ketakjuban, ketidaktahuan, keraguan, dan hasrat bertanya.

Batang filsafat menjadi simbol apa yang menjadi penopang utama dalam hal filsafat. Berfilsafat pada hakikatnya adalah berpikir. Karena itu, batang ini menjadi simbol bahwa pembahasan tentang "berpikir" menjadi hal yang penting dalam filsafat.

Cabang dan Ranting filsafat menggambarkan pembahasan-pembahasan pokok yang ada dalam filsafat berikut sub pokok bahasan dari masing-masing cabang. Ada tiga inti cabang filsafat yaitu: metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga hal ini memiliki sub pokok bahasan yang diilustrasikan sebagai ranting. Dan, dari ranting ini ada sub-sub pokok bahasan lagi. Itulah daunnya.

Buah filsafat menjadi simbol dari inti pokok tujuan filsafat yaitu untuk meraih kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran filsafat inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk banyak hal seperti: menghasilkan teori-teori, menjadi norma-norma dalam masyarakat, dan juga melakukan kritik terhadap aspek-aspek kehidupan yang dirasa perlu diubah karena tidak sejalan dengan perkembangan zaman. []

Setelah sebelumnya telah dibahas tentang pohon filsafat yang memiliki akar, batang, cabang, ranting, dan buah filsafat, maka sekarang akan dijelaskan mengenai cabang-cabang filsafat yaitu metafisika, epistemologi, dan aksiologi.

Yang pertama, metafisika yaitu cabang filsafat yang membahas persoalan hakikat realitas yang ada (being as being). Metafisika ini penting karena setidaknya memiliki fungsi sebagai langkah awal dalam memahami hakikat realitas yang mendasar dan dari pemahaman awal tentang realitas lahir pengetahuan.

Metafisika dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu: metafisika umum, general, atau yang lebih populer disebut ontologi (ontology); dan metafisika khusus, spesifik, tentang sesuatu yang ada. Metafisika khusus ini terdiri dari theodeci, kosmologi, dan juga antropologi metafisik.

Kedua, epistemologi. Yaitu cabang filsafat yang membahas persoalan bagaimana manusia dapat memperoleh pengetahuan dan bagaimana capaian pengetahuan manusia dapat dibenarkan. Epistemologi memiliki fungsi yang sangat fundamental mulai sebagai landasan bagi tindakan manusia sehari-hari, pengembangan kearifan dalam berpengetahuan, hingga sebagai sarana untuk penyadaran bahwa didunia ini terdapat variasi kebenaran yang dimiliki manusia yang oleh karenanya manusia layak menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).

Dan terakhir, yaitu aksiologi. Yaitu cabang filsafat yang membahas persoalan nilai baik yang berkenaan dengan baik dan buruknya tindakan manusia, maupun berkenaan dengan indah dan jeleknya sesuatu. Aksiologi merupakan pemikiran tentang persoalan nilai, sehingga ia juga dikenal dengan istilah filsafat nilai.

Dalam pembahasan aksiologi, selain membahas tentang hakikat nilai adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari persoalan aksiologi yaitu tentang etika dan estetika. Karena pembahasan tentang dua hal itu sangat luas, seringkali pembahasan tentang keduanya berdiri sendiri-sendiri. Akan tetapi dalam pembahasan ini keduanya menjadi satu bagian dalam aksiologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun