Nusa Tenggara Barat (NTB) - Ketika bulan suci Ramadhan menyapa, aku adalah orang yang paling berbahagia. Saat itu, dimana ketika Allah mengingatkan ku akan syurga yang sebelumnya ku abaikan dan saat pertamakalinya aku merasakan cinta. Inilah kisahku.
Jika ada syurga di dunia, maka syurga itu adalah pernikahan yang bahagia. Tetapi, jika ada neraka di dunia, itu adalah rumah tangga yang penuh pertengkaran dan kecurigaan-kecurigaan yang menakutkan di antara suami dan istri. Pasalnya, sudah lebih setahun aku menjalani kehidupan berumah tangga, di awal pernikahan aku serasa tak mendapatkan syurga malah sebaliknya.
"Menjalani kehidupan rumah tangga ibarat mengayuh biduk di tengah lautan, kadang ombaknya tenang, kadang badai, tak jarang oleng dibuatnya, untuk itu kalian harus benar-benar siap," pesan Kiyai Soleh
yang menjadi penasihat perkawinan kami.
Hanya aku termanggut-manggut, menunjukkan kesiapan. Sebenarnya, dari awal aku kurang setuju menjalani perjodohan, hingga aku menikah dengannya, aku tak benar-benar mencintainya! Ku turuti saja kehendak ibuku, tak lain hanya untuk menyenangkan kedua orang tuaku. Dia adalah anak dari salah seorang kerabat ibuku.
Kalau bukan karena melihat ibuku, bisa saja ku batalkan perjodohan itu sebelum pernikahan itu menjadi kenyataan. Perlahan, ketidak terimaanku tumbuh menjadi keangkuhan yang menguasai diriku, aku telah mendewakan diri menjadi lelaki yang sempurna. Menurutku, dia bukan tipe wanita yang ku dambakan, aku kerap kali memandangnya sebelah mata, tak ada yang istimewa kulihat darinya. Aku pantas mendapatkan yang terbaik, bukan dirinya.
Kesuksesan pendidikan dan karir yang membuatku meninggikan diri, dia tak pantas disandingkan denganku. Aku semakin kecewa, mendapati kabar mantan pacarku, Erin telah dipersunting Bayu, juga teman kuliah ku dulu. Erin adalah primadona di kampus kami, aku dan Bayu mati-matian mengejar cinta Erin, dan akulah yang dipilihnya.
Aku terlampau bahagia hingga lupa diri, anganku dipenuhi rangkaian mimpi akan menjalani hidup dengannya, rupanya tak berlangsung lama,harus ku akhiri ketika Ibu mempertemukan dan menjodohkanku dengan Sabrina. Istriku.
Tanpa sepengetahuan isteriku, diam-diam aku menguntit Erin dari akun sosialnya, hatiku remuk melihat ia mengunggah fotonya di facebook, tengah asyik berdua dengan Bayu. Kecemburuanku begitu tinggi, isteriku makin tidak ada apa-apanya di hadapanku.
Sesuatu yang dipaksakan tak akan mendatangkan kebahagiaan, justru akan menyakiti satu sama lain. Aku menjalaninya dengan keterpaksaan, aku bersandiwara, di hadapan ibu, ayah, juga orang tuanya, selalu ku tunjukkan kemesraan, seolah tidak ada yang mengkhawatirkan dari pernikahan kami. Sesuatu yang diawali oleh kebohongan akan diikuti oleh kebohongan berikutnya.
Aku terlalu egois, aku kerap mengabaikannya. Semua yang ku lakukan hanya kepura-puraan. Aku merasa tersiksa, tak betah di rumahku sendiri. Walaupun kondisiku demikian, tak pernah sekalipun aku melihat ia menunjukkan kesan lain terhadapku.
Suatu pagi ia membuatkan sarapan untuk ku, aku tak memakannya karena alasan buru-buru. Ia selalu berusaha untuk membuatku senyaman mungkin dengannya. Setiap kali aku akan berangkat kerja, dia selalu menyiapkan sepatu ku, dan selalu berusaha meraih tanganku dan menciumnya.
"Hati-hati di jalan ya Mas." Ia mengingatkanku sembari tersenyum di wajahnya, berbanding terbalik dengan apa yang aku rasakan. "Iya dek," Cuma itu balasku, tanpa basa-basi. Di kantor pun ia selalu mengingatkanku akan waktu shalat dan jam makan melalui pesan singkat. Selama itu pula, aku uring-uringan membalas pesannya.
Tiga bulan usia pernikahan ku, tibalah kami pada bulan suci ramadhan. Awal puasa adalah kali pertama aku pisah rumah dengan orang tuaku. Hanya kami berdua di rumah baru itu.
Walapun hari itu adalah hari pertama Ramadhan, instansi tempatku bekerja tidak melakukan pengurangan jam. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Aku baru keluar dari kantor saat sore menjelang maghrib, ketika warna jingga telah memenuhi kolong langit sebelah barat.
Hari itu juga aku memutuskan untuk berbuka puasa di luar, padahal tak jauh dari rumah. Aku Cuma mengirim pesan singkat, bahwa aku berbuka puasa di luar. Dia pasti mengira aku lembur, gumamku. Karena kupikir masakan isteriku tidak enak. Tak sengaja, di sebuah rumah makan aku bertemu Bayu, teman akrabku yang juga suami dari mantanku, Erin. Entah kenapa dadaku terasa sesak, terbakar rasa cemburu begitu melihatnya. Dia menghampiri meja tempatku duduk, lalu menjabat tanganku. Aku berusaha tersenyum walau hatiku menangis.
Aku bertanya,"Kok sama Erin?"
"Itu dia sudah lama aku ingin curhat padamu, Ridho, aku boleh bercerita?"
"Aha, iya," tukasku, seraya memperhatikannya. Padahal hatiku seperti teriris-iris terbakar cemburu. Aku masih belum bisa menerima kenyataan.
"Sudah lama aku ingin bercerita semua ini padamu, karena kamulah satu-satunya orang yang bisa ku percaya dan kamu tahu betulkan bagaimana aku,"
"Apa itu Bayu?" Aku balik bertanya.
"Tentang pernikahanku, sebelumnya aku meminta maaf karena telah merebutnya darimu," tuturnya.
"Tidak ada yang salah kok Bay," aku berusaha meyakinkan, meski bertentangan dengan isi hatiku sebenarnya.
"Pastinya kamu berpikir aku adalah lelaki paling bahagia setelah menikah dengannya, iya kan?"
"Iya, menurutku begitu,"
Matanya berkaca-kaca, ia mulai bercerita.
"Sama sepertimu, yang pertama kali tertanam di benak ku saat aku akan melamarnya. Mulanya pernikahan kami begitu manis, kami masih dimabuk cinta. Pernikahan kami akan baik-baiksaja. Itu tak berlangsung lama, seiring berjalannya waktu, apa yang selama ini tertutupi perlahan mulai terkuak."
"Erin, nampak begitu sempurna. Ia, dia wanita cerdas, aktif dengan karir yang cemerlang. Pendapatan kami berdua cukup besar, kebutuhan kami akan selalu terpenuhi. Tapi ternyata, itu adalah sumber ketidak bahagiaanku. Hidupku terasa hambar. Dia terlalu sibuk dengan rutinitasnya, dia hampir tak ada waktu untuk menjalani perannya sebagai istri.
Sejak pertama menikah dan tinggal di rumah baru kami yang begitu besar, aku tidak pernah makan masakan isteriku, karena yang memasak selama ini adalah pembantuku. Pada hari libur, pernah aku mengajaknya pulang menengok orang tuaku, lagi-lagi dia tidak ada waktu, alasannya persiapan untuk tugas luar kota esok paginya.
"Hmm...," ia berdehem, lalu melanjutkan ceritanya.
"Suatu malam aku pulang agak larut, ada kerja lembur di kantor, aku tak sempat makan. Aku pulang dengan perut keroncongan, ku perhatikan di jalanan warung makan sudah tutup, hingga aku berharap bisa makan di rumah." Ia berhenti sejenak, menarik nafas dalam-dalam.
"Sesampai dirumah, aku tak mendapati makanan di dapur, karena istriku memang tidak pernah memasak, pembantu kami pulang kampung. Lebih parahnya lagi, bukannya disambut senyuman dia justru membentak-bentakku, layaknya aku bukan suaminya. Aku tersulut emosi, kesabaranku menipis, aku telah menampar pipinya,"
Dia merunduk, tampak menyesal.
"Aku berani bersumpah, itu pertama kalinya aku menampar wanita."
"Apa kamu cerai?" aku menyela.
"Tidak, tetapi kami hanya pisah rumah, untuk sementara aku kembalikan ia ke orang tuanya,"
Kata-kata terakhirnya itu membuatku tertohok. Tiba-tiba aku teringat isteriku, Ku perhatikan jam tanganku, beberapa menit lagi adzhan maghrib berkumandang. Aku ingin cepat-cepat berada di rumah. Aku jadi teringat Kayla, aku merasa betapa berdosanya diriku selama ini. Aku kerap berlaku tidak adil padahal ia begitu lembut dan begitu tulus cintanya terhadapku. Aku jatuh cinta kepadanya!
Aku jadi teringat Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 18, "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu."
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H