Mohon tunggu...
Journalist From Indonesia🇮🇩
Journalist From Indonesia🇮🇩 Mohon Tunggu... Jurnalis - Kerja-Belajar-Liburan🌷

Mengerti aku dalam aku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta di Awal Ramadhan

19 Februari 2023   20:56 Diperbarui: 19 Februari 2023   21:07 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berawal dari perjodohan,  lalu timbul benih-benih cinta, foto:Canva 

Suatu pagi ia membuatkan sarapan untuk ku, aku tak memakannya karena alasan buru-buru. Ia selalu berusaha untuk membuatku senyaman mungkin dengannya. Setiap kali aku akan berangkat kerja, dia selalu menyiapkan sepatu ku, dan selalu berusaha meraih tanganku dan menciumnya.

"Hati-hati di jalan ya Mas." Ia mengingatkanku sembari tersenyum di wajahnya, berbanding terbalik dengan apa yang aku rasakan. "Iya dek," Cuma itu balasku, tanpa basa-basi. Di kantor pun ia selalu mengingatkanku akan waktu shalat dan jam makan melalui pesan singkat. Selama itu pula, aku uring-uringan membalas pesannya.

Tiga bulan usia pernikahan ku, tibalah kami pada bulan suci ramadhan. Awal puasa adalah kali pertama aku pisah rumah dengan orang tuaku. Hanya kami berdua di rumah baru itu.

Walapun hari itu adalah hari pertama Ramadhan, instansi tempatku bekerja tidak melakukan pengurangan jam. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Aku baru keluar dari kantor saat sore menjelang maghrib, ketika warna jingga telah memenuhi kolong langit sebelah barat.
Hari itu juga aku memutuskan untuk berbuka puasa di luar, padahal tak jauh dari rumah. Aku Cuma mengirim pesan singkat, bahwa aku berbuka puasa di luar. Dia  pasti mengira aku lembur, gumamku. Karena kupikir masakan isteriku tidak enak. Tak sengaja, di sebuah rumah makan aku bertemu Bayu, teman akrabku yang juga suami dari mantanku, Erin. Entah kenapa dadaku terasa sesak, terbakar rasa cemburu begitu melihatnya. Dia menghampiri meja tempatku duduk, lalu menjabat tanganku. Aku berusaha tersenyum walau hatiku menangis.

Aku bertanya,"Kok sama Erin?"
"Itu dia sudah lama aku ingin curhat padamu, Ridho, aku boleh bercerita?"
"Aha, iya," tukasku, seraya memperhatikannya. Padahal hatiku seperti teriris-iris terbakar cemburu. Aku masih belum bisa menerima kenyataan.
"Sudah lama aku ingin bercerita semua ini padamu, karena kamulah satu-satunya orang yang bisa ku percaya dan kamu tahu betulkan bagaimana aku,"

"Apa itu Bayu?" Aku balik bertanya.
"Tentang pernikahanku, sebelumnya aku meminta maaf karena telah merebutnya darimu," tuturnya.

"Tidak ada yang salah kok Bay," aku berusaha meyakinkan, meski bertentangan dengan isi hatiku sebenarnya.
 "Pastinya kamu berpikir aku adalah lelaki paling bahagia setelah menikah dengannya, iya kan?"
 
"Iya, menurutku begitu,"
Matanya berkaca-kaca, ia mulai bercerita.
"Sama sepertimu, yang pertama kali tertanam di benak ku saat aku akan melamarnya. Mulanya pernikahan kami begitu manis, kami masih dimabuk cinta. Pernikahan kami akan baik-baiksaja. Itu tak berlangsung lama, seiring berjalannya waktu, apa yang selama ini tertutupi perlahan mulai  terkuak."

"Erin, nampak begitu sempurna. Ia, dia wanita cerdas, aktif dengan karir yang cemerlang. Pendapatan kami berdua cukup besar, kebutuhan kami akan selalu terpenuhi. Tapi ternyata, itu adalah sumber ketidak bahagiaanku. Hidupku terasa hambar. Dia terlalu sibuk dengan rutinitasnya, dia hampir tak ada waktu untuk menjalani perannya sebagai istri.

Sejak pertama menikah dan tinggal di rumah baru kami yang begitu besar, aku tidak pernah makan masakan isteriku, karena yang memasak selama ini adalah pembantuku. Pada hari libur, pernah aku mengajaknya pulang menengok orang tuaku, lagi-lagi dia tidak ada waktu, alasannya persiapan untuk tugas luar kota esok  paginya.

"Hmm...," ia berdehem, lalu melanjutkan ceritanya.

"Suatu malam aku pulang agak larut, ada kerja lembur di kantor, aku tak sempat makan. Aku pulang dengan perut keroncongan, ku perhatikan di jalanan warung makan sudah tutup, hingga aku berharap bisa makan di rumah." Ia berhenti sejenak, menarik nafas dalam-dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun