Mohon tunggu...
Mutia Ridwan
Mutia Ridwan Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Urban and Regional Planning Student

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Skema Kerja Sama Pemerintah dan Swasta dalam Pembiayaan Manajemen Bencana

18 Mei 2020   13:13 Diperbarui: 19 Mei 2020   09:26 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia, negara dengan sumber daya alam yang melimpah tidak selamanya aman. Terletak di antara dua lempeng aktif Eurasia dan lempeng Indo-Australia dan variasi topografi yang membentang, menjadikan negara ini rentan terhadap bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahkan menyebutkan bahwa negara ini adalah laboratorium bencana terbaik di dunia karena variasi bencana yang terjadi. BNPB mencatat ada 652 bencana yang terjadi di Indonesia sepanjang 1 Januari sampai 27 Februari 2020.

Dengan jumlah bencana yang tidak sedikit, proses pemulihan kondisi pasca bencana menjadi langkah penting demi mencegah keterpurukan ekonomi. Proses pemulihan kondisi pasca bencana yang meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Kegiatan rehabilitasi pasca bencana selain dilakukan dalam bentuk perbaikan lingkungan, juga berupa bantuan perbaikan rumah korban bencana, pemulihan sosial-ekonomi-budaya, pemulihan pelayanan publik. Sedangkan, kegiatan rekonstruksi dilakukan melalui pembangunan kembali prasarana dan sarana, penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana, revitalisasi kembali partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat, serta peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya pasca-terjadinya bencana. Tentu saja tahap ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Hasil kajian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kebutuhan dana untuk untuk rehabilitasi dan rekonstruksi setelah bencana gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tahun 2018, mencapai Rp 8,63 triliun. Contoh lainnya adalah untuk rekonstruksi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pariwisata Tanjung Lesung, Pandeglang, Banten yang terdampak tsunami pada Desember 2018, paling tidak dibutuhkan dana sekitar Rp 150 miliar, karena sekitar 30% gedung dan infrastruktur yang ada di daerah itu rusak dan membutuhkan perbaikan segera.

Pada dasarnya, dana penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah yang mana pemerintah dan pemerintah daerah juga mendorong partisipasi masyarakat di dalamnya sebagaimana disebut dalam Pasal 60 ayat (1) dan (2) UU Nomor 24 Tahun 2007. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, alokasi dana penanggulanagn bencana berasal dari APBN, APBD, serta dana masyarakat.

Berdasarkan data dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF), pemerintah rata-rata mengalokasikan dana cadangan bencana (2005-2017) sebesar Rp3,1 triliun. Bersumber dari kajian BKF, rata-rata kerugian ekonomi langsung per tahun akibat bencana (2000-2017) sebesar Rp22,8 triliun. Jika dibandingkan dengan rata-rata dana cadangan bencana maka terdapat gap pembiayaan sebesar Rp19,75 triliun atau 78 %.

Kesenjangan pembiayaan tersebut yang menyebabkan Indonesia terpapar risiko fiskal yang tinggi akibat bencana alam. Hal ini diperkuat oleh laporan World Risk Index, Indonesia menjadi salah satu negara paling berisiko di dunia karena kurangnya kemampuan mengatasi masalah dan kemampuan beradaptasi. Faktor yang perlu menjadi perhatian adalah efektivitas pembiayaan, dalam konteks ini adalah pembiayaan bencana.

Keterlibatan swasta dalam pembiayaan ini bisa menjadi salah satu solusi untuk mengisi gap pembiayaan bencana. Baik pemerintah dan sektor swasta dapat terlibat untuk mengurangi kerugian dan mengatasi risiko pada saat bersamaan (UNDP, 2015). Public Private Partnership atau Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) adalah strategi populer yang digunakan oleh pemerintah untuk mendorong partisipasi swasta dalam setiap proyek publik (Johannessen et al., 2013).

Peran utama sektor swasta dalam skema ini adalah untuk mengatasi kelemahan di pihak pemerintah, yaitu financial gap. Dalam skema kerjasama pemerintah dan swasta, peran aktor sektor swasta adalah untuk memberikan nilai tambah pada layanan yang disediakan oleh sektor publik.  Sektor swasta dapat terlibat melalui program transfer risiko, seperti asuransi dan alat keuangan lainnya (Lassa, 2013). Di negara berkembang, asuransi adalah salah satu metode yang paling popular dalam kerjasama pemerintah dan swasta untuk pembiayaan bencana.

Salah satu contoh negara yang menerapkan metode ini adalah Prancis. Di Prancis, perusahaan asuransi diharuskan menawarkan asuransi bencana dalam polis semua-bahaya/bencana yang digabungkan dengan asuransi properti. Program ini direasuransikan melalui dana yang dikelola secara publik, Caisse Centrale de Rassurance. Jika dana ini terbukti tidak mencukupi, pemerintah akan diminta untuk berkontribusi. Oleh karena itu, semua properti individu dan bisnis di Perancis dilindungi oleh asuransi (Linnerooth-Bayer dan Mechler, 2007).

Untuk kejadian ekstrim dan kompleks seperti bencana, kolaborasi pemerintah dan swasta dapat mengurangi kerentanan ekonomi nasional. Kolaborasi ini telah berhasil dipraktikkan di negara berkembang seperti Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Prancis. Selain itu, ada juga contoh praktik yang berhasil di beberapa negara berkembang dan yang kurang berkembang, seperti India, Turki dan Malawi (Auzzir, 2014). Di negara-negara ini, pemerintah (pusat dan daerah) berkolaborasi dengan aktor swasta, termasuk LSM, untuk mengembangkan program pengurangan bencana di tingkat nasional.

Namun tentu saja, skema kerjasama pemerintah dan swasta tidak dapat berhasil diimplementasikan tanpa koordinasi yang baik dari sektor pemerintah. Pemerintah memainka peran penting dalam skema ini dengan merevisi kebijakan yang ada, dan memasukkan konsep kerjasama pemerintah dan swasta dalam pembiayaan manajemen bencana. Sektor pemerintah dan swasta harus melakukan koordinasi terkait pembiayaan, risiko, dan manfaat yang akan ditanggung bersama. Setelah pemerintah dan swasta memahami peran dan karakteristiknya masing-masing dalam kerjasama pemerinah dan swasta, maka ada kemungkinan financial gap yang dialami Indonesia dalam pembiayaan manajemen bencana akan teratasi.

Referensi:

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana

Auzzir, Z. A., Haigh, R. P., & Amaratunga, D. (2014). Public-private Partnerships (PPP) in Disaster Management in Developing Countries: A Conceptual Framework. Procedia Economics and Finance, 18, 807--814. doi:10.1016/s2212-5671(14)01006-5

Watson, C., Caravani, A., Mitchell, Tom., Kellet, J., Peters, K. (2015). Finance for reducing disaster risk: 10 things to know. ODI, UNDP. 

Indonesia Laboratorium Bencana Alam Terbaik di Dunia, Pikiran Rakyat diakses pada 15 Mei 2020.

123 Orang Tewas Akibat 652 Bencana Sejak Awal 2020. CNN Indonesia diakses pada 15 Mei 2020.

Pemerintah Siapkan Dana Bencana Rp15 Triliun pada 2019 CNN Indonesia diakses pada 15 Mei 2020.

BNPB Keluhkan Anggaran Penanggulangan Bencana Yang Minim. Kompas diakses pada 15 Mei 2020.

BNPB: Dana Pemulihan Pasca-Gempa Lombok Rp 8,6 Triliun. Liputan6 diakses pada 15 Mei 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun