Mohon tunggu...
Mutiara Zulfa Lathifah
Mutiara Zulfa Lathifah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Integrasi Adab dan Ilmu dalam Retorika Dakwah: Menjaga Kesopanan dan Prefesionalisme

25 Juni 2024   23:17 Diperbarui: 25 Juni 2024   23:22 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Oleh: Syamsul Yakin Dosen Retorika dan Mahasiswa Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sebagai ilmu, dakwah dan retorika haruslah bebas dari nilai. Artinya, pengembangan ilmu dakwah dan retorika harus murni berdasarkan ilmu pengetahuan tanpa campuran pertimbangan lain, seperti adab. Namun, meskipun demikian, ilmu dakwah dan retorika tetap mengandung adab. Artinya, walaupun kedua ilmu ini bebas dari nilai, mereka tetap harus mempertimbangkan kebenaran dan dampaknya. Dengan kata lain, ilmu dakwah dan retorika terikat oleh adab yang berasal dari ajaran agama dan budaya.

Oleh karena itu, adab dan ilmu dalam retorika dakwah harus dipadukan. Dalam hal ini, berlaku prinsip bahwa "ilmu bukan untuk ilmu", melainkan untuk kebaikan dan kemudahan hidup manusia di dunia dan akhirat. Dengan kata lain, ilmu adalah untuk kemanusiaan. Di sinilah pentingnya adab.

Secara praktis, retorika dakwah tidak hanya tentang berdakwah secara efektif dan efisien, menarik, dan atraktif, tetapi juga melibatkan aturan kesopanan, keramahan, dan budi pekerti yang agung. Dakwah pada awalnya bersifat subjektif, dogmatik, dan penuh nilai. Retorika juga awalnya berasal dari budaya dan sistem nilai.

Ketika retorika lahir dari budaya, berkembang menjadi seni bertutur, tumbuh menjadi pengetahuan, dan akhirnya diakui sebagai ilmu, di puncaknya retorika perlu diikat oleh adab. Budaya, seni, pengetahuan, dan ilmu manusia harus dipadukan dengan adab.

Begitu juga dengan dakwah. Berawal dari dogma atau ajaran agama, kemudian menjadi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang belum teruji secara ilmiah, dan akhirnya menjadi ilmu dakwah, tentunya harus didampingi oleh adab. Dalam berdakwah, seorang dai harus menunjukkan kesopanan, keramahan, dan budi pekerti yang baik.

Memadukan adab dan ilmu dalam retorika dakwah meniscayakan dua hal. Pertama, penghapusan komodifikasi dakwah, yaitu menjadikan dakwah sebagai barang dagangan. Selama ini, komodifikasi dakwah berlindung di balik profesionalisme dan manajemen. Dai yang berilmu dan beradab menolak komodifikasi dakwah.

Dai dan mitra dakwah dilarang menjadikan dakwah sebagai bisnis. Namun, mereka boleh mendakwahkan bisnis, karena Nabi, para sahabat, dan ulama banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Dai harus menghidupkan dakwah, bukan bergantung hidup dari dakwah.

Kedua, memadukan adab dan ilmu dalam retorika dakwah akan membuat dai menjadi profesional dalam arti yang sebenarnya. Profesionalisme bukan berarti terkenal, memiliki manajer, dan harus dibayar, tetapi memiliki adab dan ilmu dalam berdakwah dan beretorika.

Profesionalisme tidak berarti tidak memiliki pekerjaan selain dai. Dai boleh bekerja apa saja tanpa mengabaikan aspek profesionalisme. Sebab, makna dai profesional adalah menghayati sepenuh hati apa yang dikatakan dan mengamalkannya berdasarkan adab dan ilmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun