"Urip iku urup, Nduk." Tangannya terasa sangat keriput saat menyentuh setiap helaian rambut di kepalaku. Baunya seperti biasanya, sedikit bau sangit dan minyak yang membaur membuatnya tercium sangat apek. Suaranya terdengar sayup-sayup di telinga-aku di ambang batas sadar dan tidur di pangkuannya. Simbok mulai menembang. Sebetulnya, aku tidak benar-benar mengerti setiap arti lagu yang dinyanyikan simbok. Tetapi, simbok selalu mengatakan-setiap lagu itu mengandung nasehat dan juga saratan doa.
Tak lelo...lelo...lelo...ledungÂ
Cup menenga aja pijer nangisÂ
Anakku sing ayu rupaneÂ
Yen nangis ndak ilang ayune
Â
Tak gadang bisa urip mulyoÂ
Dadiyo wanito kang utomo
Ngluhurke asmane wong tuwa
Dadiyo pandekaring bangsa....
Aliran darahku menjalar sangat hangat seiring belaian tangan simbok. Suaranya begitu menggema di gendang telingaku. Seluruh imajinasiku bermain di kepala. Membayangkan aku tengah berada di sebuah taman bunga. Menari-nari mengenakan dress kuning bludru peninggalan simboknya simbok. Simbok bilang, pakaian itu hanya boleh aku kenakan saat menghadiri acara penting dari mandat desa atau simbok akan lebih senang aku memakainya saat nanti ada laki-laki yang akan meminangku.