Matilah engkau matiÂ
Kau akan lahir berkali-kali...
Begitulah sajak puisi dalam novel Laut Bercerita yang dituliskan oleh salah satu tokohnya, 'Sang Penyair.' Bait puisi itu menyimpan makna yang mendalam, menggambarkan bagaimana garis hidup dan kematian sangatlah tipis, serta bagaimana menghidupi kematian atau bahkan sendi kehidupan itu sendiri.
"Apakah ini gelap yang kelak menjadi pagi;atau gelap seperti sumur yang tak menjanjikan dasar?" Prolog (hal 2).
Penggalan prolog itu mengisyaratkan akankan mereka bisa selamat dan kembali menyantap hidangan tengkleng setiap Minggu sore, atau menghilang untuk menjadi sebuah puzzle dalam kepingan sejarah? Meski sudah bertahun-tahun silam, asa, hilang, dan, kematian tetap saja masih melebur menjadi satu dalam perjuangan.
Laut bercerita, karya epic nan menguras emosi yang ditulis oleh Leila S Chudori. Berlatar belakang sejarah di Indonesia tahun 1998. Dimana orde baru menjadi cacatan tragedi yang masih membekas hingga kini.Â
Dengan jiwa jurnalisnya Ibu Leila melakukan riset mendalam selama proses penulisan novel ini. Ia merekam, mewawancarai, berdiskusi, dan menulis novel Laut Berceita. Tak heran jika para pembaca emosinya sampai campur aduk turut merasakan setiap detail adegan yang dinarasikan, seakan diajak menilik kembali pada tragedi 98.
Narasinya pun dibagi menjadi dua segmen. Bagian I dituturkan oleh si Biru Laut. Pemuda dengan segala keambisiusan dan keingintahuannya yang selalu membuatnya belajar mendalami karya-karya sastra dan fotografi. Penuturan Biru Laut mengisahkan perjuangannya sebagai seorang mahasiswa aktivis 98.Â
Sementara, bagian II menuturkan mengenai sudut pandang Asmara Jati adik perempuan Biru Laut, yang mana ia berusaha mengumpulkan setiap kepingan-kepingan kisah Biru laut, dan mengukirnya sebagai sejarah keabadian.
Muda Membara