Mohon tunggu...
Mutiara Ramadani
Mutiara Ramadani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Semarang

Mahasiswa ekonomi pembangunan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kritik Kapitalisme: Antara Kemakmuran dan Ketidakadilan

9 Desember 2024   11:48 Diperbarui: 15 Desember 2024   22:02 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kritik  Kapitalisme"

“Kritik Kapitalisme :" Antara Kemakmuran dan Ketidakadilan"”

Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang kini mendominasi banyak negara di seluruh dunia. Berdasarkan pada kepemilikan pribadi atas alat produksi, pasar bebas, dan akumulasi modal, kapitalisme sering dianggap sebagai pendorong utama inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam kerangka ini, beberapa aliran pemikiran yang berperan penting muncul, antara lain kapitalisme klasik, marxisme, kapitalisme neoklasik, keynesianisme, dan kapitalisme sosial. Kapitalisme klasik, yang dipelopori oleh pemikir seperti Adam Smith, menekankan pentingnya pasar bebas, persaingan, dan peran individu dalam mencapai efisiensi ekonomi. Sebaliknya, marxisme yang dikembangkan oleh Karl Marx mengkritik kapitalisme sebagai suatu sistem yang mengeksploitasi kelas pekerja, menyoroti konflik antara pemilik modal dan buruh, serta memprediksi bahwa kapitalisme pada akhirnya akan digantikan oleh sosialisme.
Sebagai alternatif, kapitalisme neoklasik mengedepankan teori utilitas dan keseimbangan pasar, menggunakan model matematis untuk menganalisis perilaku konsumen dan produsen. Di sisi lain, keynesianisme, yang diperkenalkan oleh John Maynard Keynes, menekankan pentingnya intervensi pemerintah dalam perekonomian, terutama dalam menghadapi resesi melalui kebijakan fiskal dan moneter.

 Terakhir, kapitalisme sosial berupaya menggabungkan prinsip-prinsip kapitalisme dengan perhatian terhadap keadilan sosial, menyoroti tanggung jawab sosial perusahaan dan kesejahteraan masyarakat. Meski sering dipuji karena kemampuannya mendorong pertumbuhan ekonomi dan inovasi, kapitalisme menghadapi kritik serius di era modern ini. Sistem ini memiliki kelemahan mendasar yang berdampak pada kesejahteraan sosial, lingkungan, dan stabilitas ekonomi. Konsumerisme yang berlebihan, sebagai akibat dari dorongan kapitalisme, menciptakan budaya di mana individu merasa terdorong untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan, yang akhirnya menyebabkan pemborosan sumber daya. Lebih jauh lagi, kapitalisme rentan terhadap krisis keuangan yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan memberikan dampak langsung pada kehidupan masyarakat, terutama bagi kelompok yang paling rentan. Pengaruh besar korporasi terhadap kebijakan pemerintah juga menjadi sorotan, karena sering kali kepentingan bisnis mengalahkan kebutuhan publik. Di samping itu, fenomena alienasi di dunia kerja—di mana individu merasa terasing dari pekerjaan mereka—menambah dimensi kritik terhadap kapitalisme, menimbulkan pertanyaan tentang kesejahteraan dan kepuasan hidup dalam sistem yang terfokus pada pencarian keuntungan. Berbagai kritik terhadap kapitalisme pun berakar dari dampak sosial, lingkungan, dan ketimpangan ekonomi yang ditimbulkannya.

1. Ketimpangan Ekonomi

Salah satu kritik paling mendasar terhadap kapitalisme adalah ketimpangan ekonomi yang dihasilkannya. Masalah ini tercermin dalam cara praktik kapitalisme mengakumulasi kekayaan dan sumber daya di tangan segelintir individu atau perusahaan besar. Dalam sistem kapitalisme, kekayaan cenderung terkonsentrasi di kalangan elit pemilik alat produksi, sementara sebagian besar tenaga kerja hanya mendapatkan bagian kecil dari hasil produksi. Ini menciptakan ketidakmerataan dalam peluang mencapai kemakmuran, di mana individu dari latar belakang kaya memiliki akses yang lebih baik terhadap pendidikan, investasi, dan jaringan professional yang mendorong kesuksesan mereka. Sebaliknya, mereka yang berasal dari lapisan ekonomi rendah sering terjebak dalam siklus kemiskinan dengan akses terbatas pada sumber daya yang dapat membantu memperbaiki status ekonomi mereka. Berdasarkan laporan World Inequality Report 2022, 10% orang terkaya di dunia menguasai 76% kekayaan global, sedangkan 50% populasi termiskin hanya memiliki 2%. Ketimpangan ini semakin diperparah oleh sistem pajak regresif di beberapa negara, yang lebih menguntungkan pemilik modal. Konsep trickle-down economics, yang menyatakan bahwa kekayaan para elit akan "menetes" ke lapisan bawah, terbukti tidak efektif. Data dari Oxfam (2022) juga menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di dunia memiliki kekayaan yang setara dengan 50% populasi termiskin. Hal ini terjadi karena kapitalisme sering memberikan keuntungan lebih besar kepada pemilik modal dibandingkan dengan tenaga kerja. Untuk mengatasi ketimpangan ini, penerapan pajak progresif dan redistribusi kekayaan melalui program sosial bisa menjadi solusi yang efektif. Negara-negara Nordik, seperti Swedia dan Norwegia, telah menunjukkan keberhasilan dengan pendekatan ini, yang mampu mengurangi kesenjangan ekonomi dan menciptakan masyarakat yang lebih adil.

2. Eksploitasi Tenaga Kerja

Eksploitasi tenaga kerja merupakan salah satu isu krusial yang sering muncul dalam konteks sistem kapitalisme. Dalam upaya mengejar keuntungan maksimal, kesejahteraan pekerja sering kali menjadi korban. Banyak perusahaan menerapkan praktik-praktik yang merugikan, seperti membayar upah rendah, memberlakukan jam kerja yang panjang, dan menciptakan kondisi kerja yang tidak aman, demi meminimalkan biaya dan meningkatkan profit. Hal ini menempatkan pekerja, terutama di negara-negara berkembang, dalam posisi terpaksa menerima keadaan yang tidak menguntungkan, karena sulitnya menemukan alternatif yang lebih baik. Mereka terjebak dalam siklus eksploitasi yang sulit dij break. Dari sisi lain, ketidakpastian ekonomi dan kurangnya perlindungan hukum semakin menyulitkan pekerja dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Sistem kapitalisme yang mendorong persaingan sering kali mengorbankan pekerja demi mencapai efisiensi dan keuntungan. Dalam teorinya tentang nilai lebih, Karl Marx menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh kapitalis berasal dari eksploitasi tenaga kerja, di mana pekerja dibayar lebih rendah dari nilai yang mereka hasilkan. Sebuah studi yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) pada tahun 2023 mengungkap bahwa 60% pekerja di negara berkembang hidup dengan upah di bawah standar hidup yang layak. Banyak di antara mereka bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi, sering kali sebagai akibat dari maraknya praktik outsourcing dan kontrak kerja jangka pendek. Sementara perusahaan meraup keuntungan maksimal dari sistem ini, pekerja justru terjebak dalam kesengsaraan. Sebagai solusi, diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan upah minimum yang disesuaikan dengan inflasi dan kebutuhan hidup yang layak. Selain itu, penguatan serikat pekerja juga menjadi hal yang krusial untuk melindungi hak-hak buruh dan memperjuangkan kesejahteraan mereka..

3. Kerusakan Lingkungan

Kapitalisme sering kali lebih memfokuskan perhatian pada keuntungan jangka pendek daripada pada keberlanjutan lingkungan. Dalam sistem ini, pertumbuhan ekonomi yang cepat sering dianggap lebih penting, meskipun hal tersebut mengabaikan tanggung jawab sosial dan dampak lingkungan yang lebih luas. Krisis perubahan iklim yang semakin mendesak menunjukkan bahwa tanpa adanya reformasi sistemik, pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan akan terus mengakibatkan kerusakan lingkungan yang lebih parah. Proses akumulasi modal sering kali dilakukan dengan mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan, seperti deforestasi, pencemaran, dan emisi gas rumah kaca. Data dari Global Carbon Project mengungkapkan bahwa pada tahun 2022, sektor industri dan energi, yang dikuasai oleh beberapa perusahaan kapitalis besar, menyumbang lebih dari 70% emisi karbon global. Contoh nyata dari hal ini dapat dilihat pada perusahaan-perusahaan minyak besar seperti ExxonMobil dan Chevron, yang terus melakukan eksplorasi bahan bakar fosil meskipun ada tuntutan untuk beralih ke energi terbarukan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan penerapan regulasi yang ketat untuk membatasi emisi karbon, serta pengenalan pajak karbon dan insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi hijau. Beberapa negara, seperti Jerman, telah mulai menerapkan pajak karbon sebagai langkah untuk mendorong transisi menuju energi terbarukan

4. Ketidakstabilan Ekonomi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun