Tak ada manusia satu pun di dunia ini yang mau gagal. Mau tidak mau, kegagalan pasti dihadapi sehingga persiapan untuk menerima dengan legowo adalah keharusan.Â
***
Seorang bocah terlihat diam menyendiri di samping sebuah rumah berwarna hijau. Bocah tersebut berkeringat deras. Dari wajahnya nampak rasa takut yang begitu besar.Â
Setelah ditanya oleh tetangga, si bocah menjawab dengan sedikit gagap bahwa ia gagal memenangkan lomba menggambar tingkat kecamatan yang diadakan oleh SD, tempatnya bersekolah.Â
Si tetangga heran, alasan si bocah harus menangis. Padahal, kekalahan itu hal wajar. Apalagi untuk anak kelas 4 Sekolah Dasar.Â
Ternyata, si bocah takut bila ia dimarahi oleh ibunya. Sebab, sejak awal pengumuman peserta lomba, ibu si bocah merasa cukup senang. Ia takut kegagalan yang ia alami membuat ibunya marah. Dan ya, ternyata hal itu terjadi.Â
Bocah ketakutan itu adalah saya. Ya, memiliki orang tua cukup keras ternyata membuat saya selalu khawatir akan banyak hal, termasuk ketika mengalami kegagalan.Â
Saya kerap bersembunyi saat mendapat nilai jelek, kalah lomba menggambar, atau melakukan kesalahan (misal: menghilangkan uang secara tak sengaja karena dicuri teman).Â
Pokoknya, tiap ada masalah, memendam sendirian adalah pilihan terbaik. Hal tersebut terjadi lantaran sikap ibu saya. Ibu tak segan-segan mengomeli seharian. Kebiasaan tersebut benar-benar membuat saya takut untuk bercerita.Â
Setelah dewasa, saya mulai sadar bahwa tindakan ibu membuat saya tidak berani menyampaikan sesuatu. Saya kerap takut mengalami kegagalan. Saat gagal, saya akan merasa frustrasi luar biasa.Â
Lalu, apa yang seharusnya dibutuhkan ketika seorang anak menghadapi kegagalan?Â
Jika harus jujur, tatkala mengalami kegagalan, saya hanya ingin dipeluk atau ditenangkan dengan kataÂ
"Gapapa Nduk, gapapa, namanya juga belajar, besok kan bisa mencobanya kembali. Gagal itu hal biasa"
Namun, saya tetap harus menerima bahwa orang tua bukan tipikal seperti itu. Oke, itu bukan masalah.Â
Bagi saya yang sudah dewasa ini, sikap orang tua tak akan pernah saya turunkan kepada adik atau anak kelak, ketika sudah menikah.Â
Apakah Kita Tak Dibiasakan Menerima Kegagalan?Â
Senada dengan yang saya alami, ketika SMA, saya memiliki teman sebangku dengan orang tua berwatak super keras. Bahkan berani mengatai anaknya "Bodoh" saat mengalami kegagalan.Â
Tak heran, ketika teman sebangku kalah lomba Bahasa Jawa tingkat Kabupaten, ia murung di kelas. Saya tanya alasan ia murung, bercerita lah ia mengenai karakter bapaknya yang tak mentoleransi kegagalan.Â
Saya menenangkan dia sebisa mungkin, mentraktir dia bakso depan sekolah, setidaknya itu bisa meringankan perasaannya. Saya hanya membatin bahwa kami memiliki persamaan.Â
Sejak itu saya mulai berpikir, jangan-jangan, kebanyakan anak takut atau frustrasi karena mereka tak diajarkan untuk menerima kegagalan. Mereka selalu disalahkan bila bertindak tak sesuai dengan ekspektasi oleh orang tua (jahat).Â
Anak-anak hanya didesak untuk menang, menang dan menang. Tak diajarkan bahwa gagal itu manusiawi, kondisi yang harus diterima dengan lapang dada.Â
Satu hal lagi, ketika seorang anak merasa gagal, seharusnya bukan ucapan kasar yang diberikan tetapi pelukan hangat dan senyuman tulus dari orang terdekat mereka. Seperti apapun, itu meringankan.Â
Guru Pendidikan Kewarganegaraan saya bernama Bu Diah pernah bercerita tentang anaknya yang mengikuti Olimpiade Biologi Tingkat Nasional. Anak Bu Diah kalah dari SMA lain. Atas kekalahan itu, anak Bu Diah menangis dan merasa kecewa.Â
Sebagai seorang ibu, Bu Diah memeluk erat anaknya dan berkata bahwa kekalahan itu hal yang wajar. Tak perlu disesali sampai berlebihan.Â
Kekalahan memang memunculkan rasa kecewa, namun jangan sampai membuat patah semangat hingga kehilangan harapan. Lantas, Bu Diah memberi motivasi sebisa beliau.Â
"Kalau bukan ibunya yang memberi semangat ke anak-anak, siapa lagi. Seorang ibu itu madrasah pertama bagi anak. Tempat bagi anak memiliki rumah"
Ternyata, pelukan dan dorongan hangat Bu Diah, mengantarkan anaknya memenangkan berbagai lomba essay dan karya ilmiah. Bu Diah bilang bahwa beliau tak pernah sekalipun mencela anaknya. Terharu sekali mendengar cerita beliau.Â
Suatu saat, ketika memiliki anak dan dia mengalami kegagalan, saya akan jadi orang pertama yang memeluknya, lantas berkata bahwa kegagalan itu manusiawi, tak perlu dipikirkan secara berlarut.Â
Ya, saya akan merengkuh perasaannya dengan senyuman, mengajarkan ia menerima kegagalan bukan hanya mencari kemenangan. Harapan saya, itu bisa membuat ia kuat dan tak menyalahkan diri sendiri tatkala jatuh.Â
***
Hari ini merupakan Hari Anak Nasional (HAN). Momen HAN bisa dijadikan refleksi bagi orang tua dimanapun bahwa seorang anak membutuhkan dukungan penuh ketika menjalani kegagalan dan keberhasilan hidup.Â
Semuanya bisa dimulai dengan memeluk mereka dan memberi senyuman hangat agar anak-anak tahu bahwa mereka tidak sendirian.Â
Saya yakin, ketika mental dan fisik anak terlindungi, disitulah mereka akan tumbuh menjadi anak-anak hebat.Â
Selamat Hari Anak Nasional, salam hangat dari Nurul Mutiara R A
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H