Lalu, apa yang seharusnya dibutuhkan ketika seorang anak menghadapi kegagalan?Â
Jika harus jujur, tatkala mengalami kegagalan, saya hanya ingin dipeluk atau ditenangkan dengan kataÂ
"Gapapa Nduk, gapapa, namanya juga belajar, besok kan bisa mencobanya kembali. Gagal itu hal biasa"
Namun, saya tetap harus menerima bahwa orang tua bukan tipikal seperti itu. Oke, itu bukan masalah.Â
Bagi saya yang sudah dewasa ini, sikap orang tua tak akan pernah saya turunkan kepada adik atau anak kelak, ketika sudah menikah.Â
Apakah Kita Tak Dibiasakan Menerima Kegagalan?Â
Senada dengan yang saya alami, ketika SMA, saya memiliki teman sebangku dengan orang tua berwatak super keras. Bahkan berani mengatai anaknya "Bodoh" saat mengalami kegagalan.Â
Tak heran, ketika teman sebangku kalah lomba Bahasa Jawa tingkat Kabupaten, ia murung di kelas. Saya tanya alasan ia murung, bercerita lah ia mengenai karakter bapaknya yang tak mentoleransi kegagalan.Â
Saya menenangkan dia sebisa mungkin, mentraktir dia bakso depan sekolah, setidaknya itu bisa meringankan perasaannya. Saya hanya membatin bahwa kami memiliki persamaan.Â
Sejak itu saya mulai berpikir, jangan-jangan, kebanyakan anak takut atau frustrasi karena mereka tak diajarkan untuk menerima kegagalan. Mereka selalu disalahkan bila bertindak tak sesuai dengan ekspektasi oleh orang tua (jahat).Â
Anak-anak hanya didesak untuk menang, menang dan menang. Tak diajarkan bahwa gagal itu manusiawi, kondisi yang harus diterima dengan lapang dada.Â
Satu hal lagi, ketika seorang anak merasa gagal, seharusnya bukan ucapan kasar yang diberikan tetapi pelukan hangat dan senyuman tulus dari orang terdekat mereka. Seperti apapun, itu meringankan.Â