Kedua, modal dana yang ia miliki terbatas sehingga harus memutar otak agar mendapatkan tempat hingga dolanan-dolanan tradisional yang akan ia gunakan untuk edukasi.
Ketiga, masyarakat di kampung masih belum sadar manfaat program yang dibuat olehnya sehingga kurang antusias memberikan dukungan. Awal-awal berdiri, beberapa orang merasa ragu mengenai benefit yang bisa didapat.
Perlu diketahui, Kampung Lali Gadget tidak secara tegas melarang penggunaan ponsel pada anak-anak. Bukan, bukan itu tujuan Irfandi. Ia tahu bahwa ponsel juga penting untuk menunjang aktivitas.
Kampung ini menghindarkan anak dari ketergantungan ponsel dengan menawarkan berbagai edukasi melalui permainan tradisional yang menarik dan atraktif. Dengan demikian, anak-anak akan secara alami lupa dengan ponsel. Katakanlah seperti bermain lumpur atau layang-layang.
Irfandi berharap, melalui permainan tradisional, anak-anak bisa menemukan kembali makna interaksi dan komunikasi dengan sesamanya secara langsung. Jadi bukan via layar ponsel saja.
Kembali ke latar belakang mendirikan KLG. Sebelumnya, Irfandi merasa gundah tatkala menemukan anak-anak asyik berkutat dengan ponselnya di warung kopi. Anak-anak tersebut seakan lupa mengenai kewajibannya untuk belajar dan mengaji.
“Waktu itu saya di warung kopi, kebetulan di sana ada wifi kan. Nah, di sana saya lihat anak-anak bermain gim online sampai gak kenal waktu. Anak-anak itu gak pulang ke rumah, gak ngaji bahkan gak belajar”
Yang lebih miris, anak-anak itu mengucapkan kalimat-kalimat makian saat memainkan ponselnya, mungkin itu sebagai bentuk ungkapan kekesalan karena kalah bermain gim.
Fenomena anak-anak kecanduan gadget sudah bisa didirasakan sejak harga ponsel dan internet mulai terjangkau, ditambah pandemi Korona yang membuat aktivitas dilakukan secara WFH. Peran gadget untuk komunikasi dan mengirimkan tugas sekolah tak bisa disangkal.
Padahal penggunaan gadget yang berlebihan sangat membahayakan bukan hanya mental anak tetapi juga dari segi kesehatan fisik.