Merasa prihatin dengan keadaan hutan yang meranggas. Kemudian, muncul inisiatif untuk menghijaukan kembali dengan cara menanam pohon. Tercetuslah, ide menanam pohon beringin yang diketahuinya sebagai tanaman penjaga air tanah.
Berniat baik menghijaukan hutan di lingkungan tempat tinggalnya ternyata tak selancar yang kita kira. Selain mendapat tantangan medan penanaman pohon yang sulit karena harus turun naik bukit, Mbah Sadiman juga mendapat label "gila" dari masyarakat yang menganggap apa yang ia lakukan tak berguna.
Bagaimana tidak? Memilih menanam pohon beringin ketimbang pohon lainnya yang bisa menghasilkan nilai jual layaknya pohon buah atau rempah. Bukankah itu terlihat gila. Apalagi, masyarakat masih menganggap bahwa beringin memiliki nilai mistis yang kuat--dianggap pohon angker.
Meski dianggap gila atas kebajikan yang ia lakukan selama 26 tahun belakangan, Mbah Sadiman tak menyerah. Ia terus menanam beringin hingga mencapai 11 ribu.
Ketika perubahan tahun berjalan, masyarakat yang hidup di sekitar Bukit Gendol-Ampyangan mulai merasakan manfaat penanaman beringin yang dilakukan oleh Mbah Sadiman. Saat kemarau, mereka tak pernah kekurangan air tanah.
Bersamaan dengan manfaat itu, sebutan gila yang pernah tersemat pada sosok Mbah Sadiman pun lenyap tanpa bekas. Kini, cinta yang ia berikan pada alam telah menjadikannya sosok inspiratif bagi setiap orang. Termasuk aku.
***
Bagiku, Mbah Sadiman merupakan figur inspiratif yang menggambarkan bagaimana kebajikan membawa kebaikan bagi banyak orang. Kebajikan yang dilakukan oleh Mbah Sadiman mungkin saja tak terlihat pada awalnya, namun memberi manfaat di kemudian hari.
Andaikata 26 tahun lalu ia menyerah karena sebutan "gila" itu, mungkin Bukit Gendol dan Ampyangan tak akan hidup seperti saat ini. Dan lagi, masyarakat tak mampu mencicipi segarnya air tiap musim kemarau tiba.
Pada akhirnya, perubahan waktu telah memperlihatkan bahwa kebajikan yang Mbah Sadiman pilih mampu bermanfaat tak hanya bagi masyarakat tapi juga lingkungan.