Kawan A selalu rindu pulang ke rumah, tak bisa jauh dari rumah walau hanya beberapa hari, homesick istilah kerennya. Kawan A selalu riang ketika bercerita tentang ibunya yang hangat.Â
Beliau suka memasak makanan yang enak, selalu memberi nasehat-nasehat baik dan tiap hendak kembali merantau, orang tua kawan A selalu menghadiahi beragam makanan dan sembako untuk hidup di tanah rantauan. Bapak kawan A selalu menyempatkan pergi toko makanan hanya untuk memastikan anaknya tidak kelaparan di kota rantau.
Berbeda dengan kawan B. Saat libur semester, ia selalu memilih tetap berada di kampus atau kos ketimbang pulang ke kampung halamannya. Menurut dia, rumah tak pernah menjadi surga baginya. Dia selalu merasa tertekan bila bertemu dengan ayah tirinya yang berwatak keras.
Dua pengalaman kawanku ini seolah menggali kembali ingatan tentang makna Home dan House. Kedua kata ini seolah memiliki arti yang sama tetapi kenyataan punya makna dan rasa yang berbeda.Â
Mau menciptakan Rumah seperti Apa Nantinya?
Menjadi penghuni rumah yang penuh dengan tekanan memang menyiksa batin. Apalagi bila kunci utama dari rumah yakni orang tua tak mampu menawarkan kewarasan bagi mental penghuninya.Â
Lalu bagaimana bila itu sudah terlanjur terjadi? Maksudnya bagaimana bila kita terlanjur memiliki orang tua yang tak mampu memberikan kehangatan khas "Home" pada diri kita.
Beberapa artikel yang kubaca memberikan seutas tips, namun yang paling aku garisbawahi adalah menyoal menjaga kewarasan diri terlebih dahulu. Tawakal terhadap kondisi yang telah terjadi.Â
Tawakal disini bukan berarti kita menerima apapun ketoxican yang orang tua torehkan. Tapi lebih pada menjaga kesehatan mental diri sendiri dan memutus mata rantai yang bermasalah.
Mengapa kesehatan mental diri sendiri perlu dijaga? Sebab, kitalah kunci selanjutnya untuk menjadi calon orang tua. Menciptakan surga di dalam sebuah rumah. Membuat anak merindukan masakan-masakan tiap ingat rumah. Memang itu tak akan semudah membalikkan telapak tangan. Namun, melalui proses belajar yang panjang dan keras, aku yakin semuanya bisa menjadi mungkin.
Hendak membentuk rumah seperti apa, tiap individu yang menentukan. Apakah nantinya akan disebut sebagai "home" atau "house", semua bermula dari perencanaan keluarga dan kesehatan mental yang baik.