Samosir tertidur begitu lelap. Bahkan ketika sekelilingnya dipenuhi air, ia tak bergeming. Tubuhnya masih tetap diam dalam balutan pepohonan yang menjulang. Entah kapan ia akan terbangun untuk sekadar berbincang dengan ibunya--yang bisa jadi--masih berenang bersama sang ayah, Toba.
***
Seorang lelaki memanggul seutas pancing lengkap dengan senar dan umpan. Dengan tubuh bermandi keringat, ia bersemangat menuju sungai tempatnya biasa memancing. Seekor katak kecil plus beberapa ekor cacing terlihat lunglai di dalam wadah yang terbuat dari bambu. Lelaki itu biasa dipanggil Toba.
Toba memang dikenal sebagai pemancing ulung. Ia sering mendapatkan ikan besar lantas dijual ke pasar untuk mencukupi hidupnya. Suatu hari, ketika Toba tengah asyik duduk di sebuah batu pinggir kali, ia dikejutkan dengan kailnya yang bergerak hebat.
Adu tarik menarik terlihat begitu sengit. Ikan yang tak mau mengalah ditambah Toba yang bersemangat, membuat pertarungan itu berlangsung alot. Namun demikian, pada akhirnya, Toba-lah yang menjadi jawaranya. Ia mendapat seekor ikan emas besar yang terlihat menggelepar di atas rerumputan pinggir kali.
Saat Toba hendak mencopot mata kail dari sang ikan, tiba-tiba suasana menjadi hening. Sekeliling Toba dipenuhi kabut cukup tebal dengan aura yang mencekam. Ikan yang Toba sentuh mulai bergerak hebat dan seketika berubah wujud menjadi perempuan berparas ayu.
Beberapa bulan kemudian, terdengar berita bahwa Toba melangsungkan pernikahan dengan perempuan dari daerah lain, perempuan yang sebenarnya merupakan jelmaan ikan emas yang telah Toba tangkap. Selanjutnya, pasangan tersebut hidup bahagia hingga lahirlah seorang anak lelaki bernama Samosir.
Bertahun-tahun berlalu, Samosir tumbuh menjadi anak yang usil dan suka bermain. Suatu hari, ia diamanahi ibunya untuk mengantar bekal ke Toba yang tengah berladang di kebun pinggir kali.
Lalai, bukannya memberikan ke sang ayah, Samosir justru memakan setengah bekal tersebut. Ketika tiba di ladang, sang ayah mendapati bekalnya berkurang cukup banyak. Toba yang kala itu sedang kelelahan bukan main, emosinya memuncak. Dengan kasar dan beringas, ia membentak “Dasar anak Ikan, pantas tak punya rasa hormat pada orang tua”.
Samosir ketakutan hingga menangis. Ia lantas berlari meninggalkan ayahnya menuju sang ibu. Di ladang, Toba mulai resah tanpa alasan. Mendadak, mendung hitam bergumul. Petir begitu keras menyambar dan memuntahkan air yang begitu deras.
Toba terkejut bukan main. Tak biasanya ada badai yang begitu besar secara tiba-tiba. Lalu, ia teringat perjanjian dengan istrinya. Sebelum menikah, ia pernah berjanji bahwa tak akan mengatakan ke siapapun mengenai wujud awal dan asal usul sang istri.
Tak berapa lama, air bah datang, menggulung tiap hal yang dilalui termasuk Toba. Andai Toba mampu bersabar, andai ia menepati janjinya, mungkin langit masih membiru dengan cerahnya. Namun kenyataannya berbeda. Ia harus rela menyatu bersama air bah yang muncul karena emosinya.
Sementara itu, sang ibu yang tahu rahasianya terbongkar segera menyuruh Samosir pergi ke atas bukit. Tatkala banjir mulai datang, sang ibu berubah wujud menjadi ikan. Ia kemudian lenyap bersamaan dengan air yang menggulung desa itu.
Bagaimana nasib Samosir? Lama tak ada orang yang bersua menemuinya, Samosir kemudian rubuh, tubuhnya menyatu bersama bukit tempatnya berpijak. Samosir akhirnya terlelap bersama alam, menemani ayah dan Ibunya dalam bentuk gugusan pulau di atas danau.
***
Demikianlah legenda yang menaungi lahirnya Danau Toba—destinasi wisata ciamik yang terletak di Provinsi Sumatra Utara. Setiap tempat biasanya akan menyimpan sajian kisah yang diwariskan secara turun temurun. Kisah-kisah tersebut akan menjadi pemantik imajinasi hingga daya tarik bagi setiap orang yang mendengar atau membacanya.
Pertama kali mendengar kisah tentang Danau Toba adalah ketika aku masih berusia 7 tahun. Kala itu, bapak—yang memiliki hobi membuat kliping tentang folklore—selalu menceritakan berbagai cerita rakyat sebelum aku tertidur. Bapak bercerita dengan berapi-api. Tangan bergerak kesana-kemari, seolah tengah menjadi dalang dalam sebuah pentas wayang.
Dari cerita pengantar tidur itulah aku mengenal nama Toba dan Samosir. Layaknya bocah, dengan polosnya aku pernah berimajinasi membangunkan Samosir atau berpura-pura memancing agar bertemu dengan si perempuan ikan.
Ah, kadang lucu tiap kali mengingat pemikiran itu. Meski demikian, justru karena storynomics itulah aku jadi bernafsu untuk menjejak ke Sumatra Utara. Bersua dengan Samosir yang hingga kini masih rebah dalam mimpi panjangnya.
Setelah beranjak dewasa, aku mengenal Toba bukan hanya sebagai tokoh utama dalam folklore, tetapi juga nama dari sebuah Danau yang menjadi Destinasi Super Prioritas (DSP Toba) karena memiliki keindahan alam, keanekaragaman hayati, kuliner dan produk budaya yang mengagumkan.
Toba sebagai Warisan Alam dalam Balutan Sains
Bila diulik secara ilmiah, Gunung Api Purba Toba mulanya merupakan gunung raksasa yang pernah bergejolak dan memuntahkan lahar minimal 300 km³ dengan total material vulkanik sebesar 2.800 km³.
Heritage of Toba. Rasa-rasanya nama itu memang pantas disematkan pada tempat yang terbentuk sejak 74.000 tahun yang lalu ini. Toba merupakan kaldera yang mewujud akibat letusan dahsyat gunung api purba.
Saking besarnya letusan yang dihasilkan, beberapa ahli menduga bahwa banyak sekali vegetasi, satwa hingga Homo sapiens yang mati kala itu. Bayangkan saja, dengan ukuran raksasa, tentu Gunung Toba Purba akan meluapkan lahar yang begitu banyak. Belum lagi dengan debu-debu beracun hingga batuan-batuan besar yang siap menghantam apapun.
Ribuan tahun kemudian, bekas letusan tersebut mewariskan cekungan besar dengan panjang 100 km, lebar 30 km dan kedalaman 500 meter. Itulah cekungan yang biasa dikenal sebagai Danau Toba.
Di tengah Danau Toba, telentang sebuah pulau bernama Samosir yang memiliki eksotisme dan ragam budaya yang melimpah. Bila ditilik di peta, Samosir seolah menjadi jantung utama dalam balutan tujuh kabupaten yakni Simalungun, Asahan, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi dan Karo.
Sungguh, raksasa berapi itu kini bukan lagi monster yang memunculkan rasa takut, tapi justru warisan yang menghidupkan kebanggaan bagi dunia pariwisata, Wonderful Indonesia!
Toba sebagai Warisan Wisata dan Destinasi Mice
Sinar matahari yang lembut mulai menyentuh kulit. Aroma basah pinus dan dedaunan menguar begitu kuat melewati hidung. Tatkala tubuh terbangun dari ranjang, hamparan pepohonan pinus dan Samosir terlihat menyembul di jendela hotel mini berbentuk tenda.
Tak jauh dari hotel, orang mulai terdengar bercakap. Mereka membicarakan sebuah pertemuan yang bakal dihelat pada tempat bernama Kaldera Amphitheater. Yang menarik, pada setiap sisinya, terhampar pemandangan hijau yang menyejukkan mata. Disanalah mereka akan membuat forum, di tempat bernama The Kaldera : Toba Nomadic Escape.
Pada April 2019 lalu, Kemenparekraf meresmikan The Kaldera : Toba Nomadic Escape. Tempat ini melenggang begitu cantik dan sempurna sebagai bagian dari DSP Toba. Kaldera Toba bahkan masuk sebagai bagian dari 16 UNESCO Global Geopark pada 7 Juli 2020.
Masuknya Kaldera Toba sebagai UNESCO Global Geopark tentu bukan tanpa alasan. Tempat tersebut memiliki kaitan geologis dan warisan tradisi yang tinggi dengan masyarakat lokal, khususnya dalam hal budaya dan keanekaragaman hayati.
Berangkat dari pengakuan itu, membuat pemerintah harus "Gercep" melakukan inovasi bagi pengembangan pariwisata di wilayah Kaldera Toba. Termasuk mengarahkan DSP Toba menjadi industri Mice (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) berkelas internasional.
Nah, dalam mengembangkan Toba sebagai destinasi wisata dan Mice berkelas internasional, ada 3 aspek yang perlu di perhatikan yakni atraksi, amenitas dan aksesibilitas.
Untuk atraksi--ya--Toba telah memiliki berbagai keunggulan yang bisa ditawarkan kepada para pengunjung. Misalnya, wisata religi, wisata budaya, wisata kuliner hingga wisata alam yang mengusung "Nomadic Escape".
Untuk amenitas, keramahan masyarakat, ketersediaan fasilitas hingga pemandu yang berkualitas menambah deret panjang kenyamanan yang bisa diberikan wisatawan ketika menjejak ke Kaldera Toba.
Untuk aksesibilitas, kaldera Toba termasuk tempat yang mudah dijangkau oleh siapapun karena dekat dengan Bandara Silangit yang bisa ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam menggunakan Damri atau transportasi berbasis daring.
Besarnya peluang emas tersebut, membuat Mice di Indonesia Aja menjadi hal yang kerap digaungkan oleh beberapa pihak. Memang, Indonesia masih berada di peringkat 17 untuk industri ini. Namun, melihat besarnya potensi warisan Tuhan yang dimiliki Indonesia, membuat pengembangan 3 aspek (Atraksi, Amenitas dan Aksesibilitas) dalam sektor pariwisata perlu diseriusi.
Kesimpulan
Warisan adalah harta berharga yang akan dilungsurkan secara turun temurun ke anak cucu. Dari warisan itulah generasi-generasi muda menjadi kenal produk-produk budaya di masa lalu. Dengan demikian, sudah seharusnya warisan itu diolah sedemikian rupa sehingga bisa diterima dengan penuh rasa bangga.
Layaknya membuat hidangan. Perpaduan bahan yang berkualitas dengan pengolahan yang pas akan memunculkan kesempurnaan cita rasa. Begitu pun dengan dunia pariwisata, perpaduan folklore, Storynomics, Local Indigenous dan pengelolaan yang tepat mampu memunculkan kesempurnaan sebuah perjalanan.
Toba adalah karya Tuhan yang tak bisa terelakkan. Ia bisa disulap menjadi demikian cantik melalui berbagai pengembangan potensi yang dimiliki. Percayalah, bila semua potensi itu dikelola dengan baik, pasti tercipta model wisata yang mengagumkan bagi pelancong dari manapun. Well, Toba, Hope I can meet you, soon!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H