Tak pernah ada kata terlambat untuk memajukan negeri. Asal ada kemauan melalui usaha yang pasti, menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat energi tentu bisa terealisasi. Salah satunya melalui rencana produksi minyak 1 juta barel per hari dan gas yang mencapai 12 BSCFD pada tahun 2030.
Andai itu terjadi, bayangkan, berapa banyak industri dari level raksasa hingga mikro yang bakal terus bangkit? Tentu saja tak sedikit. Apalagi 98 persen penopang ekonomi Indonesia adalah sektor UMKM. Jelas, itu berdampak besar bagi pertumbuhan ekonomi melalui pendapatan negara dari sektor migas maupun non migas.
***
Kebutuhan energi akan selalu sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Semakin meningkat jumlah penduduk yang dimiliki suatu negara, semakin naik pula total bauran energi yang dibutuhkan. Bagaimana tidak? Energi merupakan penggerak berbagai aktivitas manusia, mulai dari skala rumah tangga hingga skala industri.
Misalnya saja aktivitas para nelayan. Mereka membutuhkan solar sebagai bahan bakar untuk menggerakkan kapal agar bisa berlayar mencari sumber daya di laut. Seperti cerita nelayan di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Setiap harinya, rata-rata nelayan disana membutuhkan solar 10-20 liter tergantung jenis kapal yang digunakan.
Apabila nelayan tak mendapat pasokan solar yang cukup untuk melaut. Mereka terpaksa harus meliburkan diri atau melaut di sekitar pantai saja demi menghindari kehabisan bahan bakar. Imbasnya, produktivitas mereka menjadi turun. Memang, pemerintah daerah tengah mengupayakan penggantian solar ke gas, tetapi itu belum menyeluruh.
Hingga saat ini, solar merupakan bahan bakar minyak yang masih urgen dibutuhkan untuk menghidupkan kendaraan bermesin diesel seperti kapal, truk, bus, traktor atau mesin kereta api. Tanpa kehadiran bahan bakar tersebut, aktivitas pertanian, logistik, bahari dan transportasi akan terganggu.
Bagi rumah tangga level masyarakat pun demikian. Dari kebutuhan untuk memasak makanan, bisnis rumahan, hingga menghidupkan kendaraan, membutuhkan energi yang cukup, yakni berupa gas (LPG) dan minyak bumi (Pertalite, Pertamax, premium dsb). Dengan demikian, logis rasanya bila kebutuhan energi akan terus meningkat setiap waktu.
Di Indonesia, selain Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai sumber energi yang masih diusahakan, nyatanya minyak dan gas masih memegang peranan kunci. Ya, dalam bauran energi yang ada, minyak dan gas masih mencapai angka lebih dari 54 persen pada tahun 2019. Itu artinya geliat industri hingga rumah tangga masyarakat masih bergantung pada sektor migas.
Permasalahannya, produksi minyak dan gas di Indonesia terus menurun tetapi konsumsi keduanya terus meningkat. Untuk minyak, Indonesia masih menggantungkan impor dari negara lain sebesar 600.000 barel demi memenuhi kebutuhan rata-rata 1,4 juta barel per harinya.
Ya, negeri ini hanya mampu memproduksi minyak rata-rata sebesar 800.000 barel per hari. Bila impor minyak terus dilakukan, itu bukan hanya menghalangi tercapainya kemandirian energi tetapi juga memperbesar angka defisit pada neraca perdagangan.
Realita tersebut terasa begitu kontradiktif mengingat Indonesia termasuk negara dengan potensi kekayaan migas yang cukup besar. Kondisi ini memunculkan tanda tanya, mengapa SKK Migas—selaku perusahaan pengelola hulu—belum mampu memproduksi minyak bumi dan gas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri?
Ternyata, sejak tahun 2010 Indonesia menghadapi penurunan produksi migas cukup signifikan yang disebabkan oleh berkurangnya eksplorasi serta minimnya investasi pada sektor ini. Kebanyakan produksi migas berasal dari sumur-sumur yang sudah menua sehingga cadangan minyak di dalamnya sedikit
Selain itu, birokrasi yang rumit, tumpang-tindihnya aturan pusat dan daerah serta ketidaktersediaan data, membuat langkah investasi menjadi sulit. Imbasnya investor menjadi kurang tertarik untuk mengeksplorasi dan memilih sektor yang lebih menjanjikan.
Pada tahun 2020 ini, industri hulu migas juga mengalami kontraksi yang begitu hebat karena Covid-19. Pandemi menyebabkan beragam aktivitas menjadi terhenti sehingga permintaan minyak dan gas menurun drastis untuk skala industri hingga transportasi. Harga minyak mentah dunia juga anjlok, menyebabkan porsi investasi ke Indonesia berkurang.
Bila kondisi ini dibiarkan, maka rencana hulu migas mencapai produksi 1 Juta Barel per hari dan 12 BSCFD hanyalah ilusi semata. Perlu ada upaya-upaya terstruktur serta berkesinambungan yang mampu mengatasi tantangan-tantangan penyebab penurunan produksi migas di tanah air. Seperti apa upaya SKK Migas untuk mencapai target tersebut?
Upaya-upaya Mencapai target 1 Juta BPH dan 12 BSCFD
Pemasukan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada tahun 2021 masih didominasi dari sektor Minyak dan gas. Padahal tahun ini, Indonesia masih berhadapan dengan badai pandemi Covid-19. Sektor migas masih menjadi penopang perekonomian dengan memberi setoran bagi negara sebesar 96,7 Triliun selama periode Semester –1.
Melihat potensi bagi pendapatan nasional, pemerintah dan beberapa pihak mulai menggenjot kembali produksi migas agar mampu mencapai 1 juta BPH dan 12 BSCFD. Salah satunya dengan menggalakkan berbagai kolaborasi demi menguatkan iklim investasi serta mengupayakan pembenahan aturan dan manajemen sumber daya bersama KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama).
Berdasar informasi yang dinukil dari webinar SKK Migas dan KKKS 2021, demi menggapai visi 1 Juta BPH dan 12 BSCFD di tahun 2030, terdapat 4 strategi serta 5 aspek transformasi. Empat strategi yang bakal diterapkan oleh SKK Migas, yang pertama, optimalisasi produksi lapangan eksisting, akselerasi transformasi sumber daya, mempercepat pelaksanaan EOR (Enhanced Oil Recovery) dan mendorong kegiatan eksplorasi lebih masif.
Seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa sumur-sumur penghasil migas di Indonesia tergolong sudah tua sehingga memiliki cadangan yang sedikit. Adanya eksplorasi lebih masif bertujuan untuk menemukan sumber-sumber migas baru yang bisa diambil. Berikut informasi mengenai sumber-sumber migas dari cekungan aktif dan belum tereksplorasi.
Adapun lima aspek transformasi erat kaitannya dengan perubahan pada lembaga yang meliputi kejelasan visi, keorganisasian yang lebih cerdas dan cekatan, menerapkan pelayanan satu pintu, menggalakkan komersialisasi dan menerapkan digitalisasi semua aspek.
Memang, untuk mendapatkan target yang sesuai, SKK Migas sebagai industri hulu perlu bekerja keras. Apalagi eksplorasi minyak bumi dan gas bukan hal yang sepele. Sektor ini membutuhkan banyak SDM dengan skill tinggi, teknologi yang mahal serta membutuhkan aturan pengelolaan dan manajemen yang jelas.
Mencapai target 1 Juta BPH dan 12 BSCFD di 2030, karena program ini bersifat jangka panjang dan berkesinambungan. Perlu adanya keterlibatan antara SKK Migas, KKKS, pemangku kepentingan dengan partispasi generasi masa kini. Sebab, generasi masa kini berperan sebagai penyampai informasi sekaligus calon pengelola industri migas di masa depan.
Saatnya Generasi Muda Mendukung Program 1 juta barel!
Generasi muda merupakan bahan bakar sekaligus sumber daya bagi Indonesia. Apalagi, negeri ini memiliki bonus demografi yang sedemikian besar yakni sekitar 270,2 juta jiwa dimana porsi terbesar pada generasi z (27,94%) dan milenial (25,58%) sesuai data BPS tahun 2020.
Di masa depan, tahun 2030, generasi milenial dan z inilah yang akan menjadi pemain utama bagi industri hulu migas. Seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa tantangan industri migas saat ini adalah menyoal penguasaan teknologi, investasi dan skill dari pekerjanya.
Berdasar webinar SKK Migas 2021, ada sekitar 23.000 pekerja Indonesia yang bekerja di perusahaan migas. Mereka berpotensi untuk menciptakan ide-ide baru bagi kebangkitan industri migas nasional. Lalu, apa yang bisa generasi muda lakukan untuk mendukung program 1 juta barel dan 12 BSCFD?
Penguasaan IPTEK dan dukungan pada industri hulu migas dengan menyebarkan berita-berita positif merupakan bentuk support yang bisa dilakukan generasi muda masa kini. Faktanya, tanpa adanya sosialisasi mengenai rencana membangkitkan sektor migas kepada masyarakat. Kegiatan eksplorasi sumber daya migas bakal terhambat.
Ya, ini berkaitan dengan ketakutan mengambil keputusan/kriminalisasi kebijakan saat berada di lapangan yang sangat dipengaruhi oleh persetujuan masyarakat serta pengaruhnya terhadap lingkungan hidup. Sebab, mau tak mau isu kerusakan lingkungan erat kaitannya dengan pertambangan dan eksplorasi migas.
Tanpa adanya dukungan serta keinginan generasi saat ini untuk menyukseskan program hulu migas, maka rencana 1 juta barel per hari dan gas 12 BSCFD hanyalah ilusi. Dengan demikian, penting kiranya menggaet mereka untuk turut berpartisipasi menyebarkan informasi mengenai program-program dari SKK Migas maupun KKKS.
Target 1 Juta BPH dan Gas 12 BSCFD, Optimis Bisa!
Target produksi minyak 1 juta BPH dan gas 12 BSCFD yang direncanakan SKK Migas membutuhkan berbagai dukungan dari para pemangku kepentingan (stakeholders). Para stakeholders harus mampu memberikan gagasan serta dukungan melalui kebijakan sehingga program minyak 1 juta BPH dan gas 12 BSCFD bisa terealisasi.
Target 1 juta BPH dan gas 12 BSCFD bukan sekadar mimpi bila masyarakat mampu mendukung program tersebut agar berjalan dengan lancar. Tak bisa dipungkiri, masyarakat juga menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan SKK Migas ketika hendak melakukan produksi hingga eksplorasi Migas.
Semoga di tahun 2030, semua target itu bisa terlampaui dan Indonesia bisa tumbuh melalui kebangkitan hulu migas. Melalui 4 strategi, 5 transformasi serta kolaborasi yang baik dari berbagai pihak. Indonesia pasti mampu mencapai kedaulatan energi di masa depan. Optimis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H