Borobudur, mungkin saja yang ada di benak tiap orang adalah sebuah candi besar nan megah yang pernah masuk sebagai tujuh keajaiban dunia. Ya, itu memang benar. Namun demikian, sebenarnya makna Borobudur lebih dari itu, lho!
Ketika mendengar kataBorobudur adalah nama salah satu kecamatan di Kabupaten Magelang. Kebetulan, karena Candi Wangsa Syailendra itu berada di Kecamatan tersebut, sehingga dinamailah Borobudur.
Di kecamatan Borobudur, terdapat 20 desa wisata yang masing-masing lokasi memiliki potensi luar biasa. Salah satunya, sebuah dusun di Desa Karanganyar bernama Klipoh.
Di dusun tersebut, sekitar 75 persen masyarakatnya menggantungkan hidup sebagai pengrajin gerabah, di mana rata-rata dilakukan oleh perempuan. Hebat bukan? Para perempuan di sana sudah terbiasa membuat gerabah sejak kecil. Orang tua mereka menurunkan skill tersebut secara turun temurun.
Saat berkunjung ke Dusun Klipoh, pengunjung bisa menemukan berbagai produk gerabah seperti sendok makan, piring, kendi, tempat sambal, gelas, guci, patung kepala Buddha, pot, dan masih banyak lagi.
Produk gerabah yang dijual pun memiliki harga yang bervariasi, mulai dari Rp 2000 hingga yang termahal mencapai jutaan rupiah seperti produk keramik. Tergantung tingkat kesulitan, bentuk, ukuran dan waktu pembuatan. Semua gerabah dibuat dari tanah liat berkualitas yang dibeli dari persawahan warga atau dibeli dari Bali seharga Rp 20.000/Kg.
Di masa pandemi, penjualan produk gerabah ini cukup meningkat tajam, karena banyaknya orang mulai menjalani hobi sebagai pecinta tanaman.
Permintaan pot bunga per hari bisa mencapai 300 buah. Untuk pasar sendiri, biasanya masyarakat menjual melalui tengkulak, pasar tradisional hingga ekspor ke luar negeri.
Dialah Bapak Supoyo selaku penggagas terbentuknya kelompok pengrajin gerabah untuk kegiatan edukasi dan wisata.
Beliau merupakan pemilik dari Arum Art—salah satu tempat pembuatan gerabah di Dusun Klipoh.
Menurut Bapak Supoyo, keberadaan para pengrajin gerabah ini diperkirakan sudah ada sejak 300 tahun lalu. Itu terbukti dari ditemukannya relief di Candi Borobudur yang menggambarkan orang-orang yang tengah membuat gerabah.
Meski pembuatan gerabah ini sudah ada sejak lama dan dilakukan secara turun temurun, tetapi baru membuka diri sebagai tempat edukasi dan wisata pada tahun 2004.
Pak Supoyo bercerita bahwa kala itu ada turis asing yang tertarik dengan pembuatan gerabah dan berniat mencobanya sendiri.
Namun karena masyarakat belum memiliki persiapan apapun untuk kegiatan wisata sehingga praktik pembuatan gerabah ke para turis yang datang hanya dilakukan seadanya. Padahal para turis asing itu terlihat sangat antusias.
Tak mau kondisi tersebut berlanjut, pada akhirnya Pak Supoyo berinisiatif membuat Arum Art sebagai tempat belajar membuat gerabah tatkala wisatawan datang berkunjung, entah itu wisatawan lokal maupun internasional.
Nah, sebelum ada pandemi, Pak Supoyo mengaku bahwa lebih banyak turis asing yang menjejak ke Dusun Klipoh untuk belajar membuat gerabah. Mulai dari membentuk tanah, mengeringkan hingga membungkus hasil buatan mereka sebagai kenang-kenangan.
Proses membuat gerabah “melalui tangan sendiri” itulah yang menjadi sensasi serta daya tarik wisata di Desa Karanganyar, Kabupaten Magelang.
Nantinya, setelah wisatawan berhasil membuat karya seni mereka. Pihak Arum Art akan memproses lebih lanjut karya seni tersebut dan mengirimkannya ke hotel atau penginapan tempat para turis tinggal.
Pengalaman Pribadi Membuat Gelas Tanah Liat di Dusun Klipoh
Sebelumnya, saya tak pernah tahu bagaimana proses pembuatan piring-piring, poci atau gelas tanah liat yang ada di rumah. Tiba-tiba, perlengkapan makan tersebut sudah ada di rak semenjak ibu membelinya via online beberapa waktu lalu.
Pernah ada keinginan untuk membuatnya sendiri, terutama setelah saya melihat satu adegan membuat keramik di film Korea Selatan berjudul “Monster”.
Terlihat, sang aktor begitu lihai memainkan jarinya saat membentuk tanah liat yang berputar di atas pottery wheel. Dengan fokus penuh, tanah liat yang semula tak beraturan itu akhirnya membentuk vas bunga yang begitu cantik. Yap, itu nampak begitu mudah sampai saya mencobanya sendiri.
Jumat, 25 Juni 2021, beberapa mobil Jeep sudah menunggu saya dan beberapa kawan. Kami bergerak dari Enam Langit—tempat makan terbaik di Borobudur—menuju Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Kabupaten Magelang.
Kami begitu menikmati pemandangan kanan kiri yang berhiaskan persawahan dan gugusan bukit Menoreh. Sangat cantik. Tak heran bila Kabupaten Magelang menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Jawa Tengah.
Jarak antara Balkondes hingga Dusun Klipoh kira-kira 3,9 Kilometer yang menghabiskan waktu sekitar 13 menit. Meski sebentar, namun rasa puas yang kami dapatkan sepanjang perjalanan membuat kami merasa begitu bahagia.
Para driver jeep dan masyarakat juga sangat ramah ketika bertemu kami di sepanjang perjalanan menuju Dusun Klipoh.
Pak Pri—driver Jeep yang membawa saya dan 2 orang lainnya—dengan ramah menawarkan diri sebagai fotografer untuk memotret kami dengan berbagai pose dan keinginan.
Setelah saya dan kawan-kawan puas melakukan perjalanan menaiki Jeep sembari berfoto-foto, sekitar 5 menit kemudian kami sampai ke Dusun Klipoh.
Disana, kami sudah disambut dengan pemandangan tembikar serta gerabah yang tersusun rapi di halaman rumah warga. Sepertinya, gerabah-gerabah itu tengah dijemur dibawah terik matahari.
Setelah turun dari Jeep, salah satu pemandu wisata mengarahkan kami agar segera menuju ke Arum Art.
Di sana, kami dapat menemui Bapak Supoyo selaku pemilik dan bisa mulai merasakan sendiri praktik membuat gerabah. Pengalaman yang tentu saja pertama bagi saya dan beberapa kawan satu rombongan. Kira-kira bakal kayak apa ya?
Kala itu, Pak Supoyo menunjuk Ibu Yuri sebagai pendamping yang akan membantu kami membuat gerabah.
Ibu Yuri ini sudah bekerja sebagai pengrajin selama 10 tahun lebih. Tak heran, beliau sudah katam dengan segala bentuk, ukuran dan motif gerabah yang hendak dibuat.
Hal pertama yang harus dilakukan ketika membuat gerabah adalah saya perlu meletakkan kedua tangan di atas pottery wheel dengan posisi siku lurus di atas lutut.
“Mbak mau membuat apa, ada gelas, cangkir, piring, stupa, kendi? Nanti biar saya yang memutar pottery wheelnya, Mbak tinggal Fokus saja membentuk tanah liatnya," bu Yuri bertanya pada saya.
“Saya membuat gelas saja Bu yang mudah”
Bu Yuri tersenyum dan mengangguk. Beliau kemudian mulai mempersiapkan tanah liat dan mengarahkan tangan saya agar mulai menekan tanah dengan jari. Suprised, awalnya saya kira membuat tembikar atau gerabah itu mudah dan sepele.
Namun setelah mencobanya sendiri saya cukup kesusahan. Beberapa kali tanah liat yang ada di pottery wheel penyok tak berbentuk. Kurang lebih seperti ini gambarnya,
Bu Yuri terus memberi semangat agar saya bisa menyelesaikan gerabah dan memolesnya sendiri dengan nama yang saya inginkan.
Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya saya bisa menyelesaikan satu gelas tanah liat.
Tentunya dengan bantuan banyak dari bu Yuri. Berikut merupakan gelas yang telah saya buat dan dikirimkan ke penginapan sehari kemudian.
Sangat menarik bukan? Meski gelas yang saya buat tak sebagus buatan bu Yuri maupun pengrajin yang lain, namun saya merasa sangat puas bisa berkesempatan menjelajah alam Kabupaten Magelang dan mencoba secara langsung membuat gelas bertuliskan nama blog saya, www.naramutiara.com.
Dengan adanya nama itu, setidaknya saya selalu ingat pernah menjejak ke Dusun Klipoh, surga bagi pengrajin gerabah.
Kabupaten Magelang tak hanya bicara tentang Candi Borobudur, Loh!
Hari itu, selepas membuat gerabah, kami segera menuju penginapan kami di Balkondes Ngargogondo. Dengan perasaan riang dan puas, kami semua merasakan kembali perjalanan cantik menyusuri persawahan dan perbukitan Menoreh. Namun kali ini kami tak menggunakan Jeep, tetapi mobil VW yang merupakan usaha milik warga Kecamatan Borobudur.
Pengalaman membuat gerabah di Dusun Klipoh ini sedikit banyak memberi pengetahuan baru bagi saya dan teman-teman bahwa Indonesia di masa lalu memiliki rekam jejak yang luar biasa soal seni kriya.
Berdasarkan informasi dari Balai Konservasi kebudayaan Kemdikbud, seni membuat gerabah telah tertatah dalam relief Candi Borobudur yang telah berdiri sejak ratusan tahun lalu. Luar biasa! Bagi saya, ini merupakan wisata edukasi yang sesungguhnya.
Harapan saya dikemudian hari, wisata edukasi semacam ini bisa lebih digencarkan agar generasi muda tak hanya mengenal Magelang dari nama “Candi Borobudur” saja. Tetapi juga mengulik sisi lain yang menaungi kecamatan tersebut. Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa perspektif Borobudur pasti mengarah ke Candi. Padahal, ada 20 desa wisata yang bisa ditelusuri keindahan serta potensi ekonominya.
Apalagi semua tahu bahwa Borobudur menjadi salah satu DSP atau Destinasi Super Prioritas yang berarti destinasi tersebut tak hanya difungsikan sebagai daya tarik wisatawan saja, namun juga menumbuhkan ekosistem ekonomi kreatif yang melibatkan warga setempat.
Dan ya, melalui 20 desa wisata dan balkondes di Kecamatan Borobudur terdapat potensi ekonomi yang luar biasa berikut keindahan alamnya.
Melalui Balkondes Ngargogondo, saya bisa melihat pemandangan Bukit Menoreh yang sangat indah dengan keramahan luar biasa dari warganya.
Ya, andai diberi kesempatan untuk travel kembali setelah pandemi teratasi, saya berkeinginan menjelajah lebih jauh lagi ke 20 desa, lalu membagikan berbagai pengalaman perjalanan tersebut dalam bentuk cerita di blog.
Apakah kamu juga memiliki keinginan yang sama? Jika iya, siapkan kopermu mulai sekarang ya. Mari berwisata edukatif dan asyik di Kabupaten Magelang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H