Diceritakan bahwa ada seorang raja akan kedatangan tamu istimewa dari negeri lain. Sebuah pesta penyambutan dipersiapkan. Acara akan dirayakan dengan kemewahan khas kerajaan. Berbagai jenis hidangan lezat, tari-tarian indah dan alunan musik yang merdu pun dipersiapkan
Ketika upacara penyambutan berlangsung, para penari mulai gemulai menggerakkan anggota tubuh mereka. Musik-musik layaknya gayageum (petik), daegeum (tiup), haegeum (gesek) dan geomungo (dawai), dilantunkan dengan keras dan meriah. Para tamu undangan yang hadir terlihat bahagia menikmati setiap nafas budaya dan seni yang disajikan kerajaan.
Kemudian, melalui scene dari drama tersebut, sekelumit cerita bahwa Kerajaan Mataram pada masa Dinasti Syailendra melakukan hal yang sama melintas di pikiran.
Pada zaman itu, ritual menjamu tamu, menyambut musim hingga perayaan besar keagamaan juga menampilkan berbagai permainan alat musik layaknya di drama sageuk. Ya, semuanya terpampang nyata dalam relief Karmawibhangga.Â
Menghidupkan Musik Masa lalu melalui Sound of Borobudur
Dimensi Masa Kini
Hari itu, tahun 2017 saya berkunjung pertama kali ke Candi Borobudur dalam rangkaian acara field trip bersama 20 orang lebih. Para peserta field trip terlihat kagum menyaksikan megahnya candi yang terlihat dari jauh. Sebab, itu kala pertama bagi kami berkunjung kesana.
Dibawah terik matahari, setiap orang mulai cekrak-cekrek mengambil gambar, mengabadikan tiap momen yang bisa dibuat di atas pelataran Candi Borobudur.
Dibalik keberadaannya saat ini, apakah Borobudur hanya sebatas berfungsi tempat wisata bagi orang Indonesia? Sungguh disayangkan bila itu benar. Sebab, menurut saya, makna Borobudur lebih dari itu.Â
Pertama kali menjejak dan melihat tiap relief yang tergurat, ada rasa penasaran dalam benak ini mengenai cerita dibalik fungsi Borobudur. Layaknya arsitektur yang dibangun di masa modern, setiap pahatannya mengangumkan. Saya yakin proses memahatnya membutuhkan waktu lama.