Apabila waktu 770 M-825 M dikaitkan dengan sejarah kerajaan negara lain, yakni Korea, maka masa pemerintahan Raja Samarotungga masuk dalam periode Silla Bersatu (668-935).
Hayoo, siapa yang pernah menyaksikan drama sageuk berjudul The Great Queen Seondeok. Well, drama tersebut mengambil latar waktu ketika Putri Deokman (Ratu Seondeok) berkuasa di negeri bernama Silla (632-647 M) dimana kala itu Gegoryeo, Baekje dan Silla belumlah bersatu.
Bila kamu pernah menontonnya, setidaknya kamu bisa melihat gambaran suasana istana dan kentalnya tradisi yang ada di drama tersebut. Keren bukan? Kita patut bangga, sebab berdasarkan relief yang terpahat di Borobudur, kita tahu bahwa Samarotungga adalah seorang raja yang mengagungkan seni dan nilai-nilai religiusitas.
Sebagai sosok pecinta seni dan memiliki penghormatan tinggi pada ajaran Buddha, Samarotungga berkeinginan mengukir berbagai memori peradaban kala itu melalui pembangunan Bhumi Sambhara Budara yang berarti timbunan tanah, bukit atau tingkat-tingkat bangunan.
Terbukti, tiap relief di Borobudur mengandung beragam informasi, termasuk mengenai persebaran alat-alat musik yang tidak hanya berasal dari nusantara, tetapi juga negara lain seperti Thailand, India, China, Mesir, Jepang dan mungkin saja Korea.
Mengapa saya menyandingkan sejarah Borobudur dengan Drama Sageuk dan Sejarah Kerajaan Korea?Â
Siapapun tahu bahwa saat ini Korea Selatan memiliki nilai khusus bagi generasi era kiwari, terutama melalui film/drama yang dibuat begitu apik dan epik. Melalui drama sageuk serta sedikit sejarah mengenai Korea, setidaknya pikiran kita jadi mudah mengilustrasikan kondisi Mataram Kuno saat itu serupa. Ya, meskipun tak sama persis.
Bagi pecinta film/drama Korea berlatar sejarah kerajaan, rasanya sudah cukup mafhum dengan pernak-pernik yang dimiliki cerita mulai dari makanan, pakaian, latar tempat, hingar-bingar tradisi kerajaan, penokohan hingga segala unsur yang harus ada seperti tari-tarian serta musik.