Meski demikian, sebagian besar anak selalu melayangkan pikiran bahwa saat pulang ke rumah, orangtua adalah sosok utama yang paling dicari dan dirindukan. Apa kamu juga sepemikiran?
Permasalahannya, tak semua anak mampu menganggap rumah sebagai tempat menemukan kedamaian. Banyak diantara mereka memilih pergi berlama-lama, menjauh dari rumah akibat tertekan dengan perilaku toksik yang datang justru dari orangtua.
Benar, memiliki orangtua toksik bukanlah isapan jempol. Di dunia ini, layaknya penciptaan gelap dan terang, Tuhan juga menciptakan oran tua dengan perangai baik dan buruk. Semua kisah-kisah mengenai anak dengan orangtua toksik cukup mudah ditemukan di mesin pencari, termasuk curhat di media sosial.
Menurut Psychology Today, orangtua yang melakukan pola asuh toksik cenderung tidak memperlakukan anak-anak mereka dengan hormat sebagai individu. Orangtua cenderung tidak mau berkompromi dengan anak, dan tidak bertanggung jawab atas perilaku mereka atau meminta maaf.
Belum banyak orang sadar mengenai keberadaan orangtua toksik. Terlebih, budaya dan ajaran agama selalu menempatkan orangtua di posisi mulia. Kondisi tersebut kadang membuat perlawanan anak dianggap sebagai tindakan durhaka sehingga lebih banyak anak korban ketoksikan orang tua memilih diam.
Padahal, belum tentu si anak memang durhaka. Bisa jadi itu bentuk penjagaan diri setelah ia mengalami luka batin dan fisik selama bertahun-tahun. Saat kemarahan memuncak, memaki bahkan melaporkan orangtua adalah tindakan paling manusiawi.
Kawan, demi menghidupkan empati dan pengetahuan kita terhadap anak-anak korban orangtua toksik. Berikut hal-hal yang perlu kita ketahui. Tentunya, bisa kita ambil pelajaran agar tak menjadi sosok orangtua semacam itu.
Menyuplik informasi dari The Asian Parent, ada 7 ciri bahwa orangtua telah melakukan tindakan toksik. Disadari atau tidak, tindakan-tindakan itu mampu memunculkan depresi hingga tindakan bunuh diri pada anak.
Selama membesarkan anak, orangtua pastinya mengorbankan bukan hanya tenaga dan uang tetapi juga waktu dan pikiran. Bagi orang tua yang ikhlas dan penuh cinta, semua itu merupakan kewajiban. Ya, namanya diberi anugerah berupa anak, pengorbanan itu adalah lazim dan tak perlu diungkit.
Tapi berbeda dengan orangtua toksik, saat marah atau mengalami depresi, orangtua toksik akan mengungkit semua pengorbanan yang diberikan kepada anak dengan bahasa intimidatif. Tak jarang ungkitan itu memicu rasa takut serta bersalah dalam diri anak hingga dewasa.