“Kita tidak bisa memilih dilahirkan oleh seorang ibu yang seperti apa, namun kita bisa memilih hendak menjadi seorang ibu yang bagaimana”
Bagi seorang anak, tak ada kisah yang lebih sempurna dikenang selain kisah bersama dengan ibu berkarakter lembut dengan masakan-masakannya yang lezat. Itu merupakan masa-masa yang mampu membuat tiap orang bersyukur atas anugerah memiliki hidup. Bernostalgia dengan senyum.
Seorang ibu merupakan sosok paling penting bagi perkembangan fisik dan mental anak. Ibu yang hebat akan melahirkan generasi yang hebat. Ibu yang tak mudah menyerah akan menghasilkan generasi yang tak menyerah pula.
Wajar rasanya jika banyak orang menyebut ibu sebagai “Madrasah” bagi anak. Sebab, beliau merupakan tempat pertama bagi anak bersekolah dan mengampu pahit manisnya kehidupan.
Apabila dilihat lebih mendalam, peranan ibu begitu besar bagi anak. Beliau bukan hanya berkontribusi dari sisi edukasi saja, tetapi juga kesehatan mental dan fisik. Pernah mengenal istilah 1000 Hari Pertama Kehidupan? Dalam masa 1000 hari pertama, seorang ibu akan berjuang mati-matian melindungi si buah hati.
Tentu, itulah mengapa masa-masa 1000 hari pertama disebut sebagai waktu emas bagi tiap anak, sebab pada waktu tersebut, mereka tengah tumbuh dengan sebaik-baiknya. Para ibu tidak akan pernah membiarkan bayi yang dikandungnya mengalami stunting atau kekurangan gizi.
Setiap ibu akan berusaha mengonsumsi makanan bernutrisi, merawat janin dengan penuh cinta serta akan menanti buah hati lahir ke dunia. Mereka enggan peduli lagi soal penampilan fisik, sakit selama mengandung serta rasa lelah tatkala merawat bayi selepas melahirkan. Hal utama terbesit pada benak ibu pastilah kebaikan-kebaikan bagi anaknya.
Tak heran, para ibu akan rela bolak balik ke posyandu, memantau tiap detail perkembangan bayi tanpa lelah. Setiap hari, demi mencukupi nutrisi si jabang bayi, ibu akan membeli makanan-makanan terbaik. Semua itu dilakukan agar anak yang dikandung mampu tumbuh menjadi manusia sehat dan kuat.
Bersyukurlah jika sejak kecil kamu dikaruniai seorang ibu yang lembut dan rela memberikan kebahagiaan untukmu, karakter ideal yang diinginkan setiap anak. Beliau merupakan sosok yang layak untuk disyukuri dan dicintai oleh kita sampai kapan pun.
Berbicara mengenai ibu, ternyata tidak semua anak memiliki sosok ideal seperti yang diharapkan. Ada berbagai macam pola pengasuhan yang para ibu lakukan kepada anak-anak mereka. Ada yang lembut, ada yang tegas, ada yang keras bahkan cenderung toxic. Pada akhirnya, pola pengasuhan itulah yang menentukan bagaimana karakter anak terbentuk.
Nah, yang akan aku garisbawahi melalui artikel ini adalah tentang sosok ibu yang memiliki pola pengasuhan tak ideal. Dalam arti, aku ingin bercerita mengenai pengalamanku hidup bersama ibu yang cenderung keras dan egois.
Meski karakter ibuku demikian, namun beliau adalah sekolah pertama bagiku. Ibu secara tak langsung mengajarkanku untuk mandiri, peduli dan bersikap lembut. Sebentuk sifat yang kontradiktif dengan beliau bukan?
Belajar dari Pursuit of Happyness tentang Menjadi Orangtua yang Baik
Menyoal pola pengasuhan ibu, aku jadi teringat film yang diperankan oleh Will Smith berjudul "Pursuit of Happyness". Konon katanya, film itu merupakan kisah nyata dari tokoh bernama Chris Gardner, seorang broker saham dan pengusaha sukses dari Amerika yang menginspirasi banyak orang.
Memang, Pursuit of Happyness tak berkisah mengenai seorang ibu. Namun melalui stori yang dibangun, film tersebut berkisah tentang seorang ayah yang mencintai putranya meski ia tumbuh melalui lingkungan keluarga yang keras.
Sedikit berkisah mengenai Chris Gardner dalam Pursuit Of Happyness. Ternyata, ia memiliki ayah pemabuk dan sangat temperamen. Jika emosi, ayah Chris tak segan melakukan kekerasan terhadap ia dan ibunya. Selama bertahun-tahun, Chris kecil hidup dalam balutan rasa takut.
Karakter ayah yang keras membuat Chris menyadari agar tak melakukan tindakan yang sama ketika ia memiliki anak. Dan itu semua terbukti. Meski awalnya keadaan Chris dan keluarga cukup berantakan karena masalah keuangan, tetapi ia tak pernah menyerah.
Chris pernah berjanji pada diri sendiri bahwa ia akan membahagiakan anaknya dengan cara apapun. Salah satunya bisa dilihat melalui kerja keras yang ia lakoni demi memenuhi kebutuhan buah hatinya. Ia selalu berlari, mengejar apapun yang mampu ia lakukan, agar menjadi ayah yang ideal bagi anaknya. Sungguh mengharukan!
Tumbuh dari lingkungan yang keras dan toxic tak lantas membuat Chris menjadi sosok seperti ayahnya. Ia justru menjadi ayah penyayang yang menjadikan anaknya--Christopher Gardner Jr--sebagai sumber kekuatan dalam meraih kehidupan yang lebih baik.
Dalam kehidupan nyata, sosok orang tua bermasalah layaknya ayah Chris bukan hanya ilusi semata. Di beberapa media sosial misalnya, aku bisa dengan mudah mendapati cerita pengalaman menghadapi ibu atau ayah yang bermasalah. Jumlahnya ternyata cukup banyak.
Meski demikian, banyak anak-anak yang lahir dari orang tua bermasalah memilih untuk memutus mata rantai perilaku orangtua mereka dengan belajar parenting sejak dini. Entah melalui kanal-kanal online, film, buku-buku, atau komunitas. Akupun demikian.
Beberapa dari mereka mengaku tak akan pernah mengulangi cerita yang sama. Mereka memilih berubah demi kebaikan keluarga kecil mereka di rumah dan itu membutuhkan proses belajar yang panjang, termasuk rasa ikhlas untuk memaafkan kesalahan orangtua.
Dari Ibuku, Aku Belajar Menjadi Sosok yang Lembut
Aku memang lahir dari seorang ibu yang memiliki karakter tak sempurna atau bisa dibilang keras kepala. Namun melalui karakter beliau, aku jadi bisa belajar untuk hidup mandiri dan bersikap lembut pada saudaraku dan orang lain.
Sosok keras ibu, pernah membuatku bertanya kepada Tuhan, mengapa beliau diciptakan sebagai tempatku belajar mengenal dunia. Mengapa bukan seorang ibu dengan karakter lembut yang mampu menorehkan nostalgia indah? Aku baru menyadari jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku belasan tahun kemudian. Tepatnya, ketika aku beranjak dewasa.
Kusadari, semua karakter yang tumbuh dalam diri ibu muncul karena keadaan. Sulitnya ekonomi dan hidup dari keluarga yang tak sempurna membuat ibuku memiliki cerita menyakitkan. Tentu, sedikit banyak itu akan mempengaruhi pola pengasuhan yang beliau lakukan terhadap kami, anak-anaknya.
Tahun 1998 ketika krisis ekonomi terjadi, merupakan keadaan terparah dalam keluargaku. Susahnya mendapatkan pendapatan yang tak diimbangi kemampuan daya beli membuat kehidupan kami kian suram.
Ibu sering melampiaskan emosi pada kami, anak-anak beliau. Kala itu aku dan kakakku masih menjadi bocah yang belum tahu apa-apa mengenai krisis. Kami hanya tahu bahwa hidup 2 dekade lalu terasa begitu keras dan menantang.
Pengalaman masa lalu ditambah tantangan finansial, membuat ibuku menjadi sosok yang keras dan memiliki emosi yang meluap-luap. Tiap memiliki masalah, beliau bisa uring-uringan seharian dan tak jarang bermain tangan. Semua itu membuatku dan saudara yang lain merasa ketakutan.
Suatu hari, selepas pulang sekolah, aku pernah pernah menangis. Banyak anak-anak bercerita mengenai kebaikan-kebaikan ibu mereka. Memberi hadiah tiap kali Hari Ibu diperingati. Menyanyikan lagu Bunda karya Melly Goeslaw dengan keharuan. Semua itu membuatku mengandai "Andai aku memiliki ibu sebaik dan selembut itu, pasti aku tak pernah marah dan menangis"
Tetapi sekali lagi, seutas kalimat muncul melalui benakku bahwa kita tak bisa memilih dilahirkan oleh seorang ibu yang seperti apa, namun kita bisa memilih hendak menjadi seorang ibu yang bagaimana.
Benar. Sekuat apapun aku mengeluh dan berimajinasi memiliki ibu yang sempurna, semuanya tak akan berubah. Takdir telah diketuk oleh-Nya. Hal terpenting dari setiap hal yang terjadi ialah bersyukur dan belajar melalui ibu yang Tuhan kirimkan.
Baik atau buruknya ibu yang telah membesarkanku, paling tidak memberi pelajaran berharga. Aku tak mau menjadi sosok keras dan emosional seperti beliau. Semua keputusan menjadi sosok ibu yang seperti apa kelak, berada di tanganku.
Layaknya keputusan yang diambil oleh Chris dalam film Pursuit of Happyness, aku juga telah berjanji pada diriku sendiri untuk belajar bersikap kontradiktif dari semua karakter buruk yang dimiliki ibuku. Ya, hal itulah yang menjadikan aku begitu menyayangi adik-adikku. Melalui mereka, aku belajar menjadi sosok kakak sekaligus calon ibu yang lembut bagi anak-anakku kelak.
Sifat keras dan ego tinggi yang ibuku miliki pernah membuatku luka. Namun bukan berarti dari beliau aku tak bisa belajar. Justru aku menjadi sosok yang berusaha lembut melalui perkataan hingga tindakan.
Aku selalu me-minimalisir pertikaian agar keadaan di rumah bisa lebih baik. Ibuku saat ini masih tak beranjak dari sifat kerasnya, namun bagiku dan yang lain, itu bukan lagi hal harus dirisaukan. Kami sama-sama telah belajar menerima dan mengikhlaskan takdir yang Tuhan berikan.
Ibu sekolah pertamaku. Ya, semua kalimat itu benar. Meski aku tak belajar melalui sosok ibu yang sering diceritakan banyak orang. Namun aku belajar melalui sisi lain dari ibu. Seperti apapun, beliau adalah orang yang telah melahirkan dan merawatku hingga aku bisa seperti sekarang ini.
Pembelajaran paling penting, ibuku yang berkarakter keras telah membawa alam bawah sadarku untuk berbenah, mewujud menjadi sosok yang lembut dan mampu menjadi partner terbaik untuk semua adikku. Dan tentu saja, karakter ini akan kuberikan pada anak-anakku kelak.
Untukmu yang memiliki ibu dengan karakter keras atau jauh dari harapanmu, percayalah, itu akan membuatmu belajar dewasa dan mengenal arti hidup. Satu hal, putus mata rantai sifat buruknya dan tumbuhkan karakter baik yang dimulai dari dirimu sendiri. Sebab, jika bukan kita yang mulai membentuk karakter baik, siapa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H