Mohon tunggu...
Nurul Mutiara R A
Nurul Mutiara R A Mohon Tunggu... Freelancer - Manajemen FEB UNY dan seorang Blogger di www.naramutiara.com

Seorang Perempuan penyuka kopi dan Blogger di http://www.naramutiara.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dari Ibu yang Keras, Aku Belajar Menjadi Calon Ibu yang Lembut

6 Desember 2020   23:01 Diperbarui: 6 Desember 2020   23:38 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa dari mereka mengaku tak akan pernah mengulangi cerita yang sama. Mereka memilih berubah demi kebaikan keluarga kecil mereka di rumah dan itu membutuhkan proses belajar yang panjang, termasuk rasa ikhlas untuk memaafkan kesalahan orangtua.

Dari Ibuku, Aku Belajar Menjadi Sosok yang Lembut

Aku memang lahir dari seorang ibu yang memiliki karakter tak sempurna atau bisa dibilang keras kepala. Namun melalui karakter beliau, aku jadi bisa belajar untuk hidup  mandiri dan bersikap lembut pada saudaraku dan orang lain.

Bapak dan Ibuku, Dari mereka aku banyak belajar kehidupan.
Bapak dan Ibuku, Dari mereka aku banyak belajar kehidupan.

Sosok keras ibu, pernah membuatku bertanya kepada Tuhan, mengapa beliau diciptakan sebagai tempatku belajar mengenal dunia. Mengapa bukan seorang ibu dengan karakter lembut yang mampu menorehkan nostalgia indah? Aku baru menyadari jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku belasan tahun kemudian. Tepatnya, ketika aku beranjak dewasa.

Kusadari, semua karakter yang tumbuh dalam diri ibu muncul karena keadaan. Sulitnya ekonomi dan hidup dari keluarga yang tak sempurna membuat ibuku memiliki cerita menyakitkan. Tentu, sedikit banyak itu akan mempengaruhi pola pengasuhan yang beliau lakukan terhadap kami, anak-anaknya.

Tahun 1998 ketika krisis ekonomi terjadi, merupakan keadaan terparah dalam keluargaku. Susahnya mendapatkan pendapatan yang tak diimbangi kemampuan daya beli membuat kehidupan kami kian suram. 

Ibu sering melampiaskan emosi pada kami, anak-anak beliau. Kala itu aku dan kakakku masih menjadi bocah yang belum tahu apa-apa mengenai krisis. Kami hanya tahu bahwa hidup 2 dekade lalu terasa begitu keras dan menantang.

Pengalaman masa lalu ditambah tantangan finansial, membuat ibuku menjadi sosok yang keras dan memiliki emosi yang meluap-luap. Tiap memiliki masalah, beliau bisa uring-uringan seharian dan tak jarang bermain tangan. Semua itu membuatku dan saudara yang lain merasa ketakutan.

Suatu hari, selepas pulang sekolah, aku pernah pernah menangis. Banyak anak-anak bercerita mengenai kebaikan-kebaikan ibu mereka. Memberi hadiah tiap kali Hari Ibu diperingati. Menyanyikan lagu Bunda karya Melly Goeslaw dengan keharuan. Semua itu membuatku mengandai "Andai aku memiliki ibu sebaik dan selembut itu, pasti aku tak pernah marah dan menangis"

Tetapi sekali lagi, seutas kalimat muncul melalui benakku bahwa kita tak bisa memilih dilahirkan oleh seorang ibu yang seperti apa, namun kita bisa memilih hendak menjadi seorang ibu yang bagaimana.

Benar. Sekuat apapun aku mengeluh dan berimajinasi memiliki ibu yang sempurna, semuanya tak akan berubah. Takdir telah diketuk oleh-Nya. Hal terpenting dari setiap hal yang terjadi ialah bersyukur dan belajar melalui ibu yang Tuhan kirimkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun