"Bayangkan jika 30 tahun nanti, lautan bukan lagi dipenuhi terumbu karang dan ikan-ikan yang berenang, tetapi sampah-sampah plastik yang telah mengambang"
Mengimajinasikan Indonesia 30 tahun mendatang, bukankah itu perlu? Apalagi, saat ini isu mengenai sampah plastik tengah hangat dibicarakan oleh banyak kalangan. Ya, membahas isu ini memang tak bisa selesai sekali duduk layaknya membaca cerpen. Perlu berbagai riset dan pertimbangan matang mengingat besarnya ketergantungan Indonesia terhadap plastik, terutama untuk industri FMCG (fast moving consumer goods).
Plastik, masih dipilih oleh sebagian besar industri karena sifatnya yang ringan, tahan lama, elastis dan ekonomis. Selain itu, industri yang berhubungan dengan plastik juga memiliki pengaruh besar bagi perekonomian Indonesia. Kemenperin mencatat, ada sekitar 925 perusahaan yang memproduksi plastik dan memberi kontribusi pendapatan negara serta penyerapan tenaga kerja yang besar.
Dengan adanya kontribusi itu, dimungkinkan bahwa industri yang berhubungan dengan plastik akan terus didongkrak pertumbuhannya. Seperti yang diungkapkan oleh Budi Susanto Sadiman selaku Wakil Ketua INAPlast dalam kompas.com, bahwa konsumsi plastik nasional pada 2019 diprediksi tumbuh 6%. Prediksi tersebut didasarkan pada parameter pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun selanjutnya.
Dilema memang, ketika beberapa pihak tengah menggaungkan kampanye pengurangan sampah plastik, ternyata di sisi yang lain, kebutuhan industri akan plastik terus tumbuh. Tentu, kondisi ini menimbulkan polemik berkepanjangan. Apalagi Indonesia belum memiliki teknologi memadai untuk mendaur ulang sampah plastik.
Tahukah kamu? dari semua pencemar peringkat teratas dunia, Indonesia menempati peringkat kedua di bawah China sebagai negara penghasil sampah plastik bagi lautan. Entah itu sampah hasil industri maupun sampah plastik dari masyarakat.
Ya, negeri ini memang memiliki jumlah penduduk besar, yakni sekira 266, 91 juta jiwa (katadata.co). Dengan keadaan demografi sedemikian rupa, maka dimungkinkan pertambahan plastik yang dibuang ke lautan semakin bertambah. Apalagi dengan kondisi masyarakat yang belum sadar pentingnya menjaga lingkungan.
Sebenarnya, permasalahan yang ditimbulkan oleh sampah plastik terhadap lautan tak hanya dirasakan oleh Indonesia saja, negara lain pun sama. Sebuah survei yang dilakukan oleh Universitas Plymouth, Inggris, mengungkapkan bahwa plastik ditemukan di sepertiga hewan laut yang ditangkap di Inggris, antara lain Ikan Cod, Haddock, Mackerel, dan Kerang.
Di Asia sendiri, sampah plastik juga telah mengganggu kesembangan ekosistem laut. Seperti kejadian di Filiphina baru-baru ini, seekor Paus jenis Paruh Angsa terlihat mengapung di perairan dangkal provinsi Compostella Valley. Saat ditemukan, mamalia itu sudah dalam kondisi mati. Mirisnya, dari dalam perut paus ditemukan sampah plastik yang jumlahnya sangat banyak yakni 40 kg.
Shock! Itulah kata pertama yang setiap orang ucapkan ketika membaca artikel mengenai terdamparnya mamalia laut itu. Bisa dibayangkan bagaimana paus menahan penderitaan selama hidup akibat sampah plastik di dalam perutnya.
Di Indonesia, kejadian mengenai paus yang terdampar juga pernah terjadi. Tepatnya 2018 lalu, di perairan Wakatobi. Seekor paus jenis Sperm Whale ditemukan dalam keadaan mati dengan perut penuh sampah plastik. Berbagai jenis plastik mulai dari botol plastik, tali rafia, tutup galon, kresek, dan sampah plastik lainnya mengendap di perut si paus.
Kawan! adanya kejadian itu menunjukkan pada kita semua bahwa polusi yang disebabkan oleh plastik kian memprihatinkan. Sampah plastik telah mengotori lingkungan, mengganggu keseimbangan ekosistem, baik darat maupun lautan.
Dengan mata telanjang pun, kita bisa menyaksikan sampah plastik tersebar di berbagai tempat. Di selokan, di jalanan, di tanah lapang, di halaman rumah, di taman, di gunung, di tempat wisata bahkan di tempat tertutup sekalipun seperti bioskop.
Berdasarkan informasi dari Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jumlah sampah yang dihasilkan oleh penduduk hingga tahun 2019 mencapai 67 juta ton, 60% diantaranya merupakan sampah organik, 15% merupakan sampah plastik.
Bukan masalah jika kita membicarakan sampah organik karena itu bisa terurai dengan mudah dan cepat. Namun bagaimana dengan sampah plastik, yang membutuhkan waktu lama untuk terurai? Tahukah kamu berapa lama waktu yang dibutuhkan supaya sampah plastik bisa terurai?
"Back to Nature" sebagai Upaya Mereduksi Sampah Plastik
Alam dan manusia, keduanya memiliki hubungan timbal balik yang tak terpisahkan. Â Alam berguna sebagai penyedia kehidupan bagi manusia, sedangkan manusia merupakan perawat yang bertugas melestarikan alam. Apabila terjadi mutualisme yang baik antar keduanya, maka terjalinlah suatu harmoni yang indah. Kita jaga alam, alam jaga kita.
Akhir-akhir ini, kita kerap mendengar pemberitaan melalui berbagai media mengenai bencana yang terjadi di Indonesia. Beberapa bencana seperti banjir, pencemaran air dan tanah, serta longsor disinyalir merupakan "ulah tangan manusia". Ya, manusia yang seharusnya menjaga alam, dinilai telah lalai karena membiarkan alam sekarat dengan jutaan ton sampah plastik yang terserak.
Idealnya, tatkala manusia berkawan baik dengan alam, maka alam pun akan bertindak demikian. Namun kenyataannya, alam tengah protes pada manusia melalui aktivitasnya. Sebanyak 2572 bencana tercatat merenggut ribuan jiwa selama 2018 (BNPB). Jika sudah seperti ini, masihkan kita abai terhadap sinyal yang alam berikan?
Stop cuek! Mari kita mulai olah mindset melalui mitigasi kebencanaan secara tepat dengan kenali bahayanya, kurangi risikonya. Saatnya menjaga alam dengan memulai aktivitas "Back to nature" demi terjalin kembali tali persaudaraan antara manusia dan alam.
Back to nature, istilah tersebut santer terdengar ketika berhubungan dengan upaya pelestarian hutan. Ya, memang tak salah. Pada tahun 2005, Richard Belougi, yang merupakan pekerja sosial di pedalaman Indonesia menginisiasi gerakan Indonesia back to nature untuk menjaga kelestarian hutan.
Gerakan tersebut terbentuk atas rasa prihatin Richard terhadap permasalahan yang terjadi pada hutan Indonesia yang kian rapuh akibat penggundulan. Padahal kita semua tahu bahwa hutan merupakan paru-paru bagi dunia, tempat hidup bagi setiap organisme termasuk manusia itu sendiri.
Beberapa tahun setelah itu, konsep back to nature tidak hanya berhubungan dengan upaya pelestarian hutan saja. Tetapi meluas  maknanya menjadi setiap tindakan yang melibatkan hubungan antara manusia dan alam. Menanam mangrove untuk kelestarian hutan bakau juga termasuk kegiatan back to nature.
Nah berkenaan dengan isu sampah plastik, back to nature bisa menjadi upaya mitigasi yang tepat untuk mengedukasi masyarakat agar lebih peduli dengan alam. Caranya? Kita bisa memulai dari hal-hal sepele. Misalnya mereduksi penggunaan sedotan dan kantong plastik, lalu menggantinya dengan bahan yang ramah lingkungan.
Pada hari raya idul adha beberapa waktu lalu, konsep back to nature sudah mulai diterapkan masyarakat ketika mengemas daging qurban. Mereka mengganti kantong plastik dengan daun jati, daun pisang atau besek. Upaya ini mungkin terlihat sepele, namun manfaatnya begitu besar, yaitu mencegah terbuangnya sampah plastik secara masal.
Selain substitusi kemasan plastik, konsep back to nature melalui gerakan membawa tumbler dan kotak makan, gerakan memakai sedotan stainless, gerakan membawa tas belanja sendiri, dan gerakan ramah lingkungan lainnya perlahan sudah mulai digalakkan.
Dalam acara Gerakan 1000 Startup di Istora Senayan, Jakarta, 18 Agustus 2019 lalu misalnya, Menteri Sri Mulyani dan Susi Pujiastuti menolak disuguhi air mineral botol. Menteri Susi bahkan mengajak para hadirin untuk mengurangi sampah plastik yang keberadaannya sudah sangat memprihatinkan di lautan. Keduanya menegaskan bahwa mereka selalu membawa tumbler kemanapun, untuk menghindari pembelian air mineral kemasan.
Ya, itu dia salah satu cara mengajak oranglain untuk menghargai alam, melalui trendsetter layaknya Bu Susi atau Bu Sri. Saat ini Indonesia masih membutuhkan trendsetter lebih banyak lagi agar budaya sadar bencana masyarakat bisa muncul secara alami tanpa adanya paksaan. Ya, ini berkaitan dengan internalisasi nilai-nilai kesiapsiagaan bencana sejak dini.
Gerakan back to nature harus membudaya di dalam hati. Ia harus digemakan dan ditularkan ke seluruh anggota masyarakat terutama kepada anak-anak. Hal ini karena anak-anak merupakan generasi masa depan dimana lebih mudah meniru kebiasaan orang sekitarnya, terutama orangtua.
Jika budaya siap untuk selamat melalui back to nature ini mampu terinternalisasi sejak dini, maka menjadi nilai positif bagi semuanya. Kita tak perlu khawatir mengenai alam Indonesia 30, 50, 100, hingga 1000 tahun mendatang, sebab anak-anak akan merawatnya melalui kebiasaan baik yang kita tularkan. Â
Kawan! Selagi dunia masih berpolemik dengan aturan mengenai plastik, yuk kita beraksi nyata mereduksi penggunaan plastik dengan produk ramah lingkungan. Selain turut menjaga alam, bukankah kita juga turut membantu mengembangkan UMKM masyarakat yang menghasilkan produk ramah lingkungan?
Sumber referensi:Â
1. bps.go.id
2. sains.kompas.com
3. megapolitan.kompas.com
4. documents.worldbank.org
5. bnpb.go.id
6. Katadata.co
7. regional.kompas.comÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H