Mohon tunggu...
Nurul Mutiara R A
Nurul Mutiara R A Mohon Tunggu... Freelancer - Manajemen FEB UNY dan seorang Blogger di www.naramutiara.com

Seorang Perempuan penyuka kopi dan Blogger di http://www.naramutiara.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Setitik Cahaya dalam Gumpalan Kegelapan

30 Juli 2018   12:58 Diperbarui: 30 Juli 2018   14:26 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika aku jadi menteri Agama, apa yang bisa kulakukan untuk mencegah maraknya berita hoax dan ujaran kebencian di media massa maupun jejaring sosial? Baiklah, sebelum aku menjawabnya, mari terlebih dahulu kita berdiskusi mengenai urgenitas penyebaran hoax dan ujaran kebencian yang tengah melanda negeri ini. Ya, alasan inilah yang bisa mendorongku berandai untuk menjadi menteri agama seperti Bapak Lukman Hakim Saifuddin.

Saat itu aku sedang berada di warung Bubur Kacang Hijau takkala melihat sebuah berita mengenai ledakan bom. Ledakkan tersebut terjadi di beberapa gereja di wilayah Surabaya. Gerah, Marah, Kecewa dan juga rasa sedih bercampur menjadi satu. Dan, yang membuat perasaanku lebih bergolak adalah karena ledakan bom tersebut ternyata memakan sejumlah korban. Termasuk seorang jemaat bernama Aloysius Bayu. Siapakah dia? Apakah kalian mengenalnya? Beberapa orang yang telah katam dengan berita peledakan tersebut mungkin sudah tahu. Namun bagi orang sepertiku yang baru menyaksikan berita, akan merasa asing mendengar namanya. Aloysius Bayu adalah seorang yang dengan gagah berani rela mengorbankan nyawanya demi menghadang teroris yang akan memasuki gereja. Bayu, ia biasa dipanggil---meninggal dengan beberapa luka serius akibat ledakan bom tersebut.

Terlepas dari berita mengenai ledakan bom ataupun Bayu, sebenarnya ada hal pilu yang membuatku ingin menggertakan gigi. Ya, hoax-hoax dan ujaran kebencian muncul melalui medsos berupa potongan-potongan informasi maupun komentar dari netizen. Mirisnya, setiap hoax tersebut diamini sejumlah orang tanpa melihat fakta sesungguhnya. Tak hanya hoax, berbagai ujaran kebencian pun menyebar secepat cahaya, dengan kalimat cacian yang menuduh pihak-pihak tertentu melakukan rekayasa. Seperti di Instagram misalnya. Saat berita mengenai pengeboman dan kematian Bayu itu diposting, berbagai komentar, dari yang positif hingga berunsur kebencian muncul dengan bebas.

Ada apa dengan cara berpikir masyarakat dan netizen Indonesia? Apakah mereka sudah mampu membedakan mana yang palsu dan mana yang benar. Apakah mereka telah berpikir ulang sebelum berpendapat kepada khalayak? Masihkah kita rela diberi asupan makian, cacian dan kebohongan? Entahlah. Namun aku percaya bahwa tak semua masyarakat bisa dibohongi. Ya, merekalah masyarakat cerdas media. Mungkin kamu termasuk didalamnya?

Hoax, ujaran kebencian dan Netizen Indonesia

dokpri
dokpri
Berita mengenai ledakan bom telah menjadi Trending Topic Indonesia (TTI) kala itu. Bahkan aku yang tidak memiliki televisi di kospun langsung bisa dengan mudah menemukan pemberitaannya. Hanya berbekal trending topik yang kuklik via twitter.

Aku mengamati setiap postingan demi postingan. Melalui ratusan pendapat yang disampaikan di media sosial, terlihat beragam opini yang muncul di timeline. Mulai dari informasi akan terjadi ledakan susulan, bahaya pergi ke tempat ibadah, menyudutkan agama tertentu, juga anggapan mengenai kejadian bom yang direkayasa, untuk menutupi permasalahan panas yang melanda Indonesia. Hello!! Ada apa dengan Indonesia? Ini bukan informasi yang bersifat candaan. Ini serius. Lebih dari 300 juta penduduk Indonesia membacanya. Apakah menebarkan informasi-informasi yang meresahkan itu menyenangkan? Tidak kawan. Itu sebuah tragedi yang harus dicari solusinya bersama.

Itu baru berita mengenai ledakan bom di Surabaya. Apakah ada lagi? Banyak. Baru-baru ini kita dihebohkan dengan tertangkapnya kelompok pengujar kebencian dan penebar hoax bernama Saracen. Saracen merupakan kelompok terorganisir yang bertindak untuk menyebarkan berita-berita bohong mengenai sesuatu. Terutama informasi yang menyangkut ekonomi, politik dan agama (SARA). Tentu sebagai masyarakat yang cerdas, ada beberapa yang mampu menyaring dan mencari rujukan informasi sebelum mempercayai. Namun bagaimana dengan masyarakat awam? Apakah mereka bisa menyortir informasi yang mereka dapat? Belum tentu. Kenyataannya, banyak sekali netizen yang berkomentar kasar terkait beberapa informasi yang beredar tanpa melihat sisi kebenarannya terlebih dahulu.

Kita bisa menyaksikan pada informasi mengenai "Tenaga Asing dari China yang masuk ke Indonesia". Beberapa artikel menuliskan secara lebai mengenai informasi TKA ini. Seolah-olah jumlah TKA begitu besar sehingga akan memberangus lapangan pekerjaan penduduk asli Indonesia. Bahkan dalam artikel tersebut ditulis jika jumlah TKA terutama yang berasal dari China masuk sekitar 10 juta orang. Ya, 10 juta orang. Bayangkan, berapa persen itu jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang bekerja di negara lain (TKI). Cukup banyak.

Katadata.com
Katadata.com
Kenyataannya, sesuai yang dilansir dalam Katadata.com bahwa jumlah TKA yang masuk ke Indonesia berkisar antara 21.000 hingga 22.000 orang jauh dibawah jumlah TKI yang berada di luar negeri sekira 153.000 orang. Tentu ini meresahkan. Apalagi pada orang-orang sepertiku yang baru lulus dari universitas (fresh graduate). Tentu pemberitaan semacam itu mempengaruhi mentalitasku karena pemerintah terkesan memudahkan TKA tersebar bebas di Indonesia tanpa memandang bahwa masyarakat Indonesia sedang membutuhkan berjuta lapangan pekerjaan. Oke, aku garis bawahi sekali lagi mengenai berita 10 juta TKA yang menjajah Indonesia tersebut adalah hoax. Kita harus memahaminya melalui data, melalui fakta yang ada. Bukan hanya melalui cerita dari media yang tak bisa dipercaya.

Ada lagi? Ada. Kamu pernah mendengar isu gambar palu arit pada uang terbitan terbaru Bank Indonesia? Jika kamu pernah tahu dan percaya isu tersebut, berarti kamu sudah berhasil terbujuk rayu oleh mereka yang berniat menyebarkan berita hoax.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun