Tia dan Dinda adalah siswa SMK asisten keperawatan yang sedang menjalani praktik kerja lapangan (PKL) di salah satu rumah sakit besar di Jawa Barat. Malam itu, jadwal mereka adalah shift malam di ruang rawat inap pasca-melahirkan dan ruang bersalin (PONEK). Shift dimulai pukul 21.00 dan berakhir pukul 07.00 pagi.
Malam hari di rumah sakit terasa lengang. Lampu-lampu lorong memancarkan cahaya putih yang redup, membuat bayangan di dinding terlihat panjang dan bergerak-gerak. Saat tiba di ruangan, Tia dan Dinda mendapati suasana cukup sepi. Di ruang rawat inap hanya ada dua pasien, sementara ruang bersalin masih kosong tanpa pasien yang akan melahirkan.
"Yes! Malam ini kita bisa tidur, Din!" seru Tia dengan nada riang.
"Ssst! Jangan ngomong gitu. Nanti malah jadi ramai," tegur Dinda, melirik Tia dengan tajam.
"Hehe, iya, iya. Maaf deh," jawab Tia sambil menyengir.
Mereka mulai menyiapkan obat untuk kebutuhan pasien esok pagi. Suara klik-klik dari botol obat dan alat suntik menjadi satu-satunya suara yang terdengar di ruangan. Setelah selesai, mereka berkeliling mengecek kondisi pasien, memastikan semua kebutuhan telah tersedia.
"Din, nanti habis ini kita bobo syantik ya. Lumayan, bisa istirahat," bisik Tia sambil menahan kantuk.
"Jangan leha-leha dulu! Kita keliling dulu, kasih tahu pasien soal mandi bayi besok pagi," balas Dinda dengan nada tegas.
Mereka pun menyusuri ruang rawat inap. Kedua pasien yang ada sudah nyaman berbaring di tempat tidur. Tia dan Dinda memastikan kebutuhan mereka sudah terpenuhi.
"Selamat malam, Bu. Jangan lupa ya, besok pagi bayi Ibu akan dimandikan. Jadi perlengkapan mandinya tolong disiapkan di ranjang bayi," kata Dinda dengan suara sopan.
"Oh, iya. Terima kasih sudah diingatkan, Sus," jawab salah satu pasien sambil tersenyum.
Setelah semuanya terasa aman, mereka pamit ke perawat senior untuk beristirahat di ruang bersalin. Jarak antara ruang bersalin dan ruang rawat inap cukup jauh, dipisahkan oleh lorong panjang dengan taman yang luas dan indah di sisi kanan dan kirinya.
"Malam-malam begini lorong ini serem juga ya," gumam Tia sambil melirik jendela kaca besar di sepanjang lorong.
"Makanya jalan cepat aja, jangan lihat-lihat ke luar," balas Dinda, mempercepat langkahnya.
Sesampainya di ruang bersalin, mereka langsung menyiapkan tempat untuk beristirahat. Ketika mereka sudah bersiap untuk menuju alam mimpi, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka yang diikuti langkah kaki beberapa orang.
"Eh, suara apa itu?" tanya Dinda sambil menoleh ke arah pintu.
"Kamu tunggu di sini. Aku cek dulu," kata Tia sambil berdiri.
Saat Tia keluar, ia melihat Kak Ulfa sedang bersama seorang pasien baru di ruang bersalin. Wanita itu, yang kemudian mereka ketahui bernama Bu Ratih, tampak kelelahan tetapi tetap tersenyum ramah. Suaminya terlihat mendampinginya sambil berbicara pelan dengan Kak Ulfa.
"Tia, tolong bantu periksa tekanan darah Bu Ratih ya," kata Kak Ulfa sambil menyerahkan alat tensi.
"Baik, Kak."
Setelah tekanan darah Bu Ratih diperiksa dan hasilnya dicatat, Kak Ulfa menjelaskan bahwa pasien tersebut akan menjalani operasi sesar keesokan harinya. Tugas Tia dan Dinda adalah menjaga kondisi pasien sepanjang malam.
"Dinda, Tia, tolong perhatiin infus Bu Ratih, jangan sampai macet dan terlalu cepat," kata Kak Ulfa mengingatkan.
"Siap, Kak."
"Ibunya sekarang lagi ngapain, Kak?" tanya Dinda.
"Lagi istirahat aja, sih, paling bentar lagi tidur. Kalian kalau mau tidur, gantian aja ya."
"Aman, Kak."
"Yaudah, Kakak tinggal ke ranap dulu ya, mau buat laporan pasien," pamit Kak Ulfa.
Setelah berpamitan singkat, Tia dan Dinda segera mengatur jadwal giliran berjaga. Dari pukul 10 malam hingga 1 pagi, Tia beristirahat sementara Dinda berjaga. Kemudian, giliran Dinda beristirahat dari pukul 1 pagi hingga 4 pagi. Semua berjalan lancar sesuai kesepakatan hingga tiba giliran Tia yang berjaga. Di akhir waktu berjaganya, di tengah kebosanan yang melanda, Tia memutuskan untuk memeriksa Bu Ratih.
Semua berjalan lancar sesuai kesepakatan hingga tiba giliran Tia yang berjaga. Di akhir waktu berjaganya, di tengah kebosanan yang melanda, Tia memutuskan untuk memeriksa Bu Ratih.
"Selamat pagi, Ibu, kok nggak tidur?" sapa Tia.
"Pagi juga, Sus. Saya baru bangun kok," jawab Bu Ratih ramah.
Melihat Bu Ratih bersandar di pinggir ranjang seorang diri, Tia pun bertanya-tanya ke mana suami Bu Ratih pergi.
"Punten, Bu, Ibu sendirian aja dari tadi?" tanya Tia.
"Enggak, Sus. Sekarang suami saya lagi pergi ke masjid buat salat subuh," jawabnya.
"Pasti nggak sabar ya, Bu, mau ketemu si Dede bayi," kata Tia mencoba membuka percakapan.
"Bener banget, Sus. Akhirnya, setelah 3 tahun menikah, saya dikasih anak. Senang banget rasanya," ucap Bu Ratih sambil sesekali mengusap perutnya.
"Wah, alhamdulillah ya, Bu, semoga persalinannya lancar," ujar Tia riang.
"Aamiin, terima kasih, Sus."
"Saya pamit keluar dulu ya, Bu, sebentar lagi saya mau mandiin bayi, hehe," kata Tia.
"Iya, Sus. Berarti besok bayi saya yang dimandikan, ya, Sus," sambut Bu Ratih riang.
Tia mengangguk antusias menjawab Bu Ratih. Namun, sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, Tia menyempatkan diri melihat tetesan air infus yang tampak lancar.
"Masih macet ya infusnya? Tadi kan baru dibenerin sama Bu Dokter," kata Bu Ratih membuat Tia Keheranan.
"Dokter?" Mendengar jawaban Bu Ratih, Tia semakin bingung. Ini bukan jam kunjung dokter, dan hanya ada dirinya dan Dinda yang berjaga di ruang itu.
Bu Ratih menjawab dengan tenang, "Dokternya tadi pakai seragam warna maroon, cantik banget deh wajahnya."
Seragam yang dipakai perawat malam itu berwarna hijau muda, dan ia sendiri mengenakan seragam putih.
"Selain benerin infus, dia ngapain lagi, Bu?" tanya Tia ragu.
"Tadi, setelah suami saya berangkat ke masjid, dia sempat nemenin saya sampai suster datang," jawab Bu Ratih.
"Oh, gitu ya Bu. Yaudah, saya pamit dulu ya, Bu. Assalamu'alaikum."
Setelah berpamitan dengan Bu Ratih, Tia segera membangunkan Dinda dan menceritakan ulang apa yang ia dengar dari Bu Ratih. Seketika, mereka berdua merasa ketakutan dan pergi menemui Kak Ulfa. Kak Ulfa yang mendengar cerita mereka hanya tersenyum maklum dan mencoba menjelaskan kisah yang belum pernah mereka dengar sebelumnya.
"Dia biasa kita panggil Suster Merah. Aku juga nggak tahu cerita awalnya gimana, tapi pertama kali aku kerja di sini, Suster Merah udah jadi hal yang biasa. Soalnya, kita tahu dia nggak pernah nyakitin pasien dan justru banyak ngebantu." cerita Kak Ulfa.
"Ada yang pernah lihat nggak mukanya gimana?" tanya Dinda penasaran.
"Nggak pernah sih, tapi yang aku denger, wajahnya cantik banget, terus wanginya khas bunga. Tapi, nggak tahu bunga apaan," jawab Kak Ulfa sambil tertawa.
Tia dan Dinda yang tadinya merasa takut kini menjadi lebih tenang. Mereka berjanji akan lebih giat lagi menjaga serta menyiapkan keperluan pasien, takut-takut Suster Merah marah kalau mereka leha-leha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H