Jean-Paul Sartre menawarkan pandangan yang mengguncang cara kita melihat manusia. Ia menegaskan bahwa fokus manusia seharusnya bukan pada "esensi" (hakikat bawaan), melainkan pada "eksistensi" (cara seseorang hidup dan bertindak). Apa maksudnya?
Menurut Sartre, fokus manusia itu bukan pada esensi tapi pada eksistensi. Esensi manusia tidak bisa dijelaskan seperti esensi benda-benda. Misalnya ketika melihat pisau dapur, kita langsung tahu kegunaannya, tujuannya, dan bagaimana cara membuatnya. Begitu pula dengan smartphone, kita tahu itu adalah alat untuk komunikasi. Tapi manusia tidak bisa begitu. Ketika bertemu seseorang, kita nggak bisa langsung menyebutkan "oh ini manusia, dia punya hati, perasaan, akal, dan cara hidupnya begini." Tidak bisa. Karena manusia kadang memiliki hati, perasaan, dan akal, tapi tidak selalu menggunakannya. Jika kita meramalkan masa depannya, bisa jadi hasilnya sangat berbeda. Apa yang baik bagi satu orang, belum tentu baik bagi orang lain. Jadi, manusia tidak punya esensi tetap seperti benda-benda yang sudah memiliki esensinya secara otomatis.
Sartre berpendapat bahwa banyak filsuf sebelumnya keliru dalam mencoba menjelaskan hakikat manusia yang pasti. "Manusia itu hakikatnya begini begitu," menurut Sartre malah jadi absurd. Manusia itu baik atau jahat? Tidak ada hakikat asli untuk manusia. Manusia itu bukan produk yang diciptakan dengan hakikat yang sudah ada sejak awal.
Lalu, dari mana esensi manusia itu berasal? Sartre akan menjawabnya cepat: dari eksistensinya. Cara dia eksis. Jadi, manusia tidak punya esensi bawaan. Jika kamu hidup dengan cara yang jelek, eksistensimu akan terbentuk jelek. Jika kamu hidup dengan cara yang baik, eksistensimu pun akan demikian.
Begitu juga dengan masyarakat. Misalnya, kalau masyarakat Indonesia dikenal ramah, itu karena mereka menunjukkan perilaku ramah. Jika kita setiap hari mengumbar senyum dan aura positif, lama-lama kita menjadi masyarakat yang ramah. Tapi kalau kita terus menerus marah, ngambek, dan menyebarkan gosip, kita akan menjadi bangsa yang pembohong. "Tapi aslinya kan ramah," kata kamu. Nah, aslinya itu nggak ada. Yang ada adalah bagaimana kita berperilaku setiap hari. Menurut Sartre, nggak ada "esensi asli" dari suatu bangsa. Semua kembali ke individu dan bagaimana mereka bertindak sehari-hari.
Esensimu Dibentuk oleh Eksistensimu
Seperti Nabi yang mengatakan, "Barang siapa bohong dan membiasakan bohong, maka dia termasuk seorang kazzab." Itu artinya, dia membentuk esensinya sebagai pembohong. Nabi ingin menunjukkan bahwa siapa kita tergantung dari apa yang kita lakukan setiap hari. Inilah yang disebut eksistensialisme.
Kita tidak dilahirkan dengan nilai diri yang sudah jadi, tapi nilai itu dibentuk oleh perilaku kita sehari-hari. Manusia adalah apa yang dibentuknya sendiri. Dan sebenarnya, pencitraan itu sah-sah saja.
"Pak, saya bantu orang lain hanya agar dilihat baik," nggak masalah! Teruskan saja membantu. Lama-lama itu akan membentuk dirimu menjadi orang yang suka membantu. Lebih baik kamu bantu meskipun itu pencitraan daripada tidak bantu sama sekali tapi malah mengkritik orang yang bantu sebagai pencitraan. Dunia sekarang memang begitu, lebih gampang mengkritik orang yang berbuat baik daripada ikut membantu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H