Mohon tunggu...
Mutiara Margaretha Yaletha
Mutiara Margaretha Yaletha Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - makhluk hidup yang menempati sepetak tanah

be myself and here i am •.• kawasan bebas polusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cahaya di Balik Kegelapan: Bersahabat dengan Takdir

19 Agustus 2024   22:43 Diperbarui: 19 Agustus 2024   23:21 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia yang sering kali dipenuhi dengan berbagai tantangan dan rintangan, ada individu yang mampu menemukan cahaya bahkan dalam kegelapan terdalam. Salah satu contoh paling menakjubkan dari kemampuan ini adalah Prof. Alimin Mesra, M.Ag seorang yang telah membuktikan bahwa produktivitas dan kreativitas tidak terikat oleh keterbatasan visual. 

Meskipun ada hambatan di tengah karirnya, Prof. Alimin Mesra, M.Ag tidak hanya mengatasi batasan fisiknya tetapi juga menerangi dunia akademik dengan kontribusi yang mengesankan. Dengan tekad dan dedikasi yang tak tergoyahkan, ia telah menciptakan karya-karya yang menginspirasi dan memberikan dampak yang mendalam. Dalam wawancara yang telah dilakukan, penulis mengeksplorasi bagaimana ia menjalin persahabatan dengan takdirnya, mengubah tantangan menjadi peluang, dan terus bersinar di tengah kegelapan.

Prof. Dr. Alimin, M.Ag, dilahirkan dalam keluarga sederhana yang terdiri dari Halike dan Mastura. Pengalaman masa kecilnya terbentuk oleh kehidupan di Desa Mallari, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone. Ia adalah anak keenam dari delapan bersaudara. Artikel di Sulsel.pojoksatu.id yang berjudul "Prof. Dr. Alimin, Jadi Guru Besar dan Hafiz 30 Juz saat Matanya Buta" mencatat bahwa tanggal lahirnya adalah 25 Agustus 1969. Namun, menurut cerita ibunya, tanggal lahirnya adalah 14 Juni 1971, dan ia dilahirkan 20 hari sebelum Pemilu 1971.

Prof. Alimin menjalani masa mudanya dengan sangat produktif. Ia pernah berperan sebagai tim percepatan profesor dan editor di salah satu penerbit jurnal Scopus. Namun, pada usia 45 tahun, ia mulai menghadapi masalah penglihatan yang terus memburuk seiring waktu dan akhirnya menyebabkan kebutaan total. Ia pernah bercanda, "Kartini berjalan dari gelap menuju terang, sedangkan saya dari terang menuju gelap." Menurut dokter, tidak ada tindakan medis yang bisa menyembuhkan kondisinya, dan semua penderita kondisi serupa biasanya akan menghadapi kematian. "Jadi saya harus memilih antara hidup dengan kebutaan atau tidak hidup lama," jelasnya.

Meski begitu, Prof. Alimin tetap aktif, kadang-kadang pergi ke kampus untuk menyelesaikan urusan-urusan penting. Ia mengaku tidak ingin membebani keluarganya dengan keberadaannya sepanjang hari. Ketika istrinya bekerja dan anak-anaknya sibuk dengan kuliah atau aktivitas lainnya, ia mengisi waktunya dengan mendengarkan ayat-ayat suci Al-Qur'an melalui YouTube. 

Ia sangat bersemangat untuk menghafal satu lembar Al-Qur'an dan terus meningkatkan kemampuannya dari waktu ke waktu. Tak disangka, rutinitas ini membuatnya berhasil menghafal seluruh 30 juz Al-Qur'an. "Di situlah letak hikmah yang besar, ketika saya kehilangan kemampuan penglihatan fisik, Allah justru menempatkan cahaya-Nya di dalam hati saya," paparnya.

Selain itu, ia juga menghabiskan waktunya dengan menulis di media yang sangat kreatif. Ia memanfaatkan papan jalan yang biasanya digunakan untuk ujian sekolah sebagai alat tulis. Ia melilitkan karet gelas untuk membuat garis lurus dari sisi ke sisi papan, dan kemudian menempelkan lakban putih di pinggiran papan untuk menjaga garis-garisnya tetap rapi. Dengan cara ini, ia menciptakan alternatif untuk terus menulis meskipun dalam keterbatasan, mirip seperti menggunakan buku tulis biasa.

 Setelah menyelesaikan beberapa lembar tulisan, ia kemudian meminta anaknya untuk mentranskrip tulisan-tulisan tersebut agar bisa diterbitkan. Suatu hari, meskipun ia merasa telah menulis banyak, anaknya memberitahu bahwa tulisannya tidak terlihat karena pulpen yang digunakannya sudah kehabisan tinta. Sejak saat itu, ia selalu memastikan bahwa pulpen yang digunakannya dalam kondisi baru dan siap pakai.

Dalam dunia kepenulisan, seseorang perlu membaca terlebih dahulu untuk menemukan ide atau gagasan utama sebelum mulai menulis. "Kamu tidak akan mendapatkan ide yang baik jika hanya berkutat di bidangmu sendiri, seperti Filsafat Islam," katanya. Oleh karena itu, kita harus menggabungkan ilmu yang kita miliki dengan pengetahuan dari bidang lain dan berusaha untuk mengelaborasikannya, sehingga dapat menghasilkan tulisan yang berkualitas. Prof. Alimin menjelaskan bahwa ia memiliki pengetahuan tentang nahwu shorof. Oleh karena itu, ketika mendengarkan lantunan ayat suci dari salah satu saluran YouTube, ia berusaha untuk menggali kedalaman makna dari ayat-ayat tersebut.

Setiap orang diberikan waktu yang sama, yaitu 24 jam dalam sehari. Namun, cara kita memanfaatkan waktu tersebut bisa menghasilkan berbagai hasil yang berbeda. Dari kisah Prof. Alimin, ada beberapa pelajaran berharga yang dapat diambil. Meskipun menghadapi tantangan besar seperti kehilangan penglihatan, Prof. Alimin menunjukkan ketangguhan dan tekad yang luar biasa untuk terus produktif dan berkarya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun