Hadis palsu atau lebih dikenal dengan sebutan hadis maudhu', merujuk pada riwayat yang secara sengaja atau tidak disusun, dipalsukan, atau diberikan atribut palsu kepada Nabi Muhammad Saw. Semua ahli hadis sepakat menilainya sebagai hadis dha'if yang paling buruk kualitasnya. Hadis palsu dapat muncul karena berbagai motif, seperti politik, ketidakpahaman, atau niat untuk mempengaruhi keyakinan masyarakat. Orang yang membuat hadis palsu disebut al-wadhi', mereka adalah para oknum yang sengaja berdusta atas nama Nabi.
Kira-kira, apa yang menjadi motif utama terjadinya pemalsuan hadis?
Semua sarjana hadis baik Barat ataupun Islam, sepakat bahwa konflik politiklah yang menjadi motif utama pemalsuan hadis. Mayoritas sarjana Islam menandai fitnah pada masa Utsman sebagai awal mula pemalsuan hadis. Di mana pada paruh terakhir kekuasaan Khalifah Utsman ra, terjadi pertikaian hebat di kalangan sahabat. Sebagian sahabat membelot dari Utsman, api fitnah berkobar hebat dan Utsman terbunuh. Parahnya, Utsman dibunuh oleh para sahabat yang awalnya mendukungnya.
Pada masa kekhalifahan Islam yang pertama sampai yang ketiga, terjadi pelarangan penulisan hadis. Adapun alasan Khalifah Abu Bakar adalah ia tidak mau menyebarluaskan sesuatu yang tidak ia dengar dari Rasulullah. Menurut Abu Rayyah, keterlambatan penulisan hadis inilah yang mengakibatkan derasnya aliran hadis palsu menggenangi seluruh wilayah kehidupan umat Islam.
Seiring dengan berkembangnya kekhalifahan dan pembentukan berbagai firqah (aliran) dalam Islam, muncul kebutuhan politik untuk memperkuat posisi dan kebijakan. Hal ini menciptakan celah bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menciptakan hadis palsu demi kepentingan politik mereka. Ambisi politik dan kekuasaan menjadi pemicu munculnya hadis palsu. Penguasa atau kelompok tertentu mungkin mencoba memanfaatkan agama untuk mendukung agenda politik mereka, sehingga menciptakan atau menyebarkan hadis palsu yang mendukung tujuan mereka.
Selain itu, pada masa lalu, proses verifikasi terhadap kesahihan hadis belum seketat seperti sekarang. Keberadaan perawi (rawi) yang tidak dikenal atau lemah dapat membuka peluang bagi penyimpangan dalam menyampaikan hadis. Hal ini menciptakan ruang bagi hadis palsu untuk merayap ke dalam koleksi hadis yang ada.
Dalam menanggapi masalah hadis palsu, ulama-ulama Islam secara historis telah mengembangkan ilmu hadis ('ilmu al-hadis) sebagai suatu disiplin yang mengkaji dan menguji kredibilitas hadis. Metode kritis ini telah membantu mengidentifikasi hadis palsu dan mempertahankan integritas ajaran Islam.
Dalam khutbah ke-210 Nahjul Balaghah, Ali bin Abi Thalib menyebut empat golongan yang menyampaikan hadis Rasulullah Saw.
Pertama, seorang munafik yang menampakkan keimanan dan berpura-pura dalam keislaman, yang tak pernah merasa takut untuk berhohong secara sengaja tentang Rasulullah. Orang-orang ini sengaja mendekati pemimpin pada saat itu dan kemudian mereka dilimpahkan jabatan-jabatan penting serta menjadikan mereka penguasa atas rakyat yang tidak segan untuk memanipulasi dan melakukan tindak korupsi.
Kedua, seorang yang mendengar sesuatu dari Rasulullah Saw, tetapi ia tidak menghafalnya dengan semestinya, lalu ia ragu dan keliru, sekalipun ia tidak sengaja berbohong. Ia berpegang padanya, meriwayatkannya, dan menerapkannya seraya berkata, "Aku telah mendengarnya dari Rasulullah Saw."