Mohon tunggu...
Mutiaraku
Mutiaraku Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Meraih mimpi bersamamu......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cuti Bersama Efektif Kurangi PNS yang Mangkir pada "Hari Kejepit"?

27 Januari 2016   15:52 Diperbarui: 29 Juli 2017   22:57 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi - kalender (Kompas.com)

Cuti adalah keadaan tidak masuk kerja yang diijinkan dalam jangka waktu tertentu. Cuti diberikan dalam rangka usaha menjamin kesegaran jasmani dan rohani dan merupakan hak Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam 1 tahun diberikan 12 hari cuti dan biasanya dimanfaatkan untuk keperluan yang penting dan mendesak bagi pegawai tersebut.

Tahun 2016 ini, jumlah Cuti Bersama ditetapkan sebanyak 4 hari kerja sesuai dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 2015, Nomor 2SKB/MEN/VI/2015, dan Nomor 01 Tahun 2015 Tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2016. Alhasil sisa cuti tahunan untuk tahun 2016 tinggal 8 hari.

Menurut penulis, cuti bersama telah mengurangi hak cuti secara paksa dimana PNS dipaksa untuk mengambil cuti pada waktu yang tidak diinginkan sesuai dengan keinginan Pemerintah. Di sisi lain, kalau ada hari libur nasional yang bertepatan dengan hari Sabtu dan Minggu, tidak ada penggantinya di hari lain.

Pada awalnya cuti bersama hanya diberlakukan pada saat lebaran, kemudian bertambah saat natal, bahkan sempat diberlakukan setiap kali ada hari ‘kejepit’ yang bertepatan dengan libur nasional apapun. Alhasil, cuti bersama tersebut semakin menguras jumlah cuti yang sedianya dapat di-manage sendiri oleh masing-masing pegawai.

Issue awal yang melatarbelakangi pemberlakuan cuti bersama adalah untuk mengurangi PNS yang mangkir di hari ‘kejepit’. Namun demikian issue tersebut tidak semestinya diselesaikan dengan cara pemaksaan cuti bersama tetapi harusnya dengan tindakan lain yang hanya ditujukan kepada PNS yang memang mangkir dan bukan disamaratakan kepada semua PNS termasuk PNS yang tetap disiplin pada hari itu. Hal seperti ini jelas merupakan kesia-siaan dan ketidakadilan.

Cuti bersama seharusnya juga mempertimbangkan tujuan pemberian cuti tahunan yaitu dalam rangka usaha menjamin kesegaran jasmani dan rohani para PNS. Terlepas dari propaganda media tentang PNS yang malas, banyak menganggur dan sebagainya, sesungguhnya jauh lebih banyak PNS yang benar-benar bekerja dengan beban dan tekanan kerja yang tinggi bahkan hingga melewati jam kerja. Dengan kondisi seperti itu, cuti tahunan akan sangat dibutuhkan untuk refreshing dan kebutuhan penting lainnya misalnya menjaga anggota keluarga yang sakit, mengurusi pendidikan anak,  dan keperluan keluarga lainnya. Dengan memanfaatkan cuti tahunan sebaik-baiknya, diharapkan bisa mengurangi tingkat stress yang ujung-ujungnya dapat meningkatkan produktivitas kerja.

Pemberlakuan cuti bersama rata-rata selama 4 hari dalam satu tahun dengan menyisakan hak cuti sebanyak 8 hari juga merupakan sebuah pemaksaan terhadap PNS non-muslim ikut libur saat Lebaran dan PNS non-Kristiani pada saat libur Natal. Bahkan tidak semua umat agama bersangkutan juga ingin cuti sebanyak ketentuan cuti bersama pada hari rayanya. Misalnya ketika Lebaran tidak mudik, tentu tidak perlu harus berlibur selama seminggu penuh.

Dalam hemat penulis, jika memang pada saat Lebaran dan Natal sudah bisa dipastikan wajib cuti bersama, mengapa tidak sekalian saja liburnya diperpanjang tanpa harus mengurangi hak cuti pegawai. Sebagai perbandingan, Pakistan menerapkan libur lebaran selama 5 hari kerja atau seminggu penuh, UEA memberikan libur seminggu untuk pegawai sektor publik, Arab Saudi 12 hari, Kuwait 10 hari, dan Malaysia satu minggu.

Atau jika tidak mau menetapkan libur lebih panjang tanpa mengurangi cuti, sebaiknya libur nasional dikembalikan sebagaimana semula tanpa adanya cuti bersama agar cuti dapat diambil oleh pemilik cuti bersangkutan sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Dengan demikian juga tidak terjadi pemaksaan terhadap pemeluk agama lain, bahkan kepada pemeluk agama bersangkutan yang memang tidak ingin cuti pada waktu itu melainkan ingin mengalokasikan cutinya untuk kesempatan lain.

Barangkali, perlu dilakukan sebuah kajian terkait penerapan cuti bersama ini yang melibatkan semua unsur masyarakat dan agama, apakah penerapan cuti bersama sudah sesuai dengan tujuan penerapan cuti bersama atau bahkan telah menjadi salah satu penyebab menurunnya kinerja pegawai. Semoga para pengambil keputusan dapat mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun