Sebuah karya kolaborasi oleh Dyah Rinadan Mutiaraku
S a t u
Diaz tengah menikmati sisa hujan di teras balkon kamarnya. Udara sejuk meresap ke dalam belulangnya. Sepi. Rintik gerimis masih lembut menebarkan kasihnya namun mentari seperti tak mau menunggu hujan benar-benar reda. Perlahan hangatnya mengintip dunia. Saat itu, fenomena langka tersaji begitu saja di depan mata Diaz.
Pelangi. Benar-benar pelangi yang luar biasa indah dengan warna-warninya, tepat seperti lagu wajib masa kanak-kanaknya. Merah kuning hijau, di langit yang biru. Meliuk dari ujung jalan sebelah utara hingga selatan.
Diaz tertegun beberapa saat mengagumi ciptaan Tuhan yang tiada duanya itu. Kemudian ia segera berlari masuk ke kamar mengambil hp nya untuk mengabadikannya.
'Fenomena langka. Sayang buat dilewatkan.' Begitu pikirnya.
Langkah Diaz yang nampak tergesa membuat Siwi, adik satu-satunya mengernyitkan dahi saat berpapasan dengannya.
“Kenapa sih, Mas? Buru-buru amat?” tanya Siwi sambil membawa piring berisi pisang goreng hangat untuk kakaknya.
“Ada pelangi. Aku mau motret.” Diaz terburu-buru keluar. Tapi kemudian Siwi mendengar teriakan kecewa kakak lelakinya yang baru beberapa hari pulang dari Australia.
“Kenapa, Kak?”
“Pelanginya dah hilang."
“Hadeh, Kak, mana ada pelangi bisa nungguin kakak ambil hp dulu buat motret. Yang ada tuh musti cepat tangkap momen. Gigit jari deh!” Ledek adiknya. Deg, ada yang mendadak sakit di dadanya mendengar ledekan adiknya.
“Kamu ini malah ngledek orang yang kecewa. Sana gih keluar dulu, ngganggu orang yang lagi menikmati sepi.”
“Ciee, menikmati sepi. Kaciaaan deh! Ya udah silahkan dilanjut sepinya. Jangan lupa makan pisang gorengnya. Jangan lupa mandi juga. Ini sudang siang, Bung! Jam 10.Perjaka, pamali siang-siang begini belum mandi,” kata Siwi sambil berlari keluar kamar kakaknya melihat Diaz sudah siap mengejarnya.
Diaz kembali duduk sambil merenung. Peristiwa barusan membuatnya terlempar ke masa silam. Pada sosok yang dulu selalu mengisi satu sudut hatinya yang bahkan hingga kini tak tergantikan.
Pelangi, gadis cantik kembang kampus yang akhirnya memilihnya sebagai kekasih. Diaz sangat bangga memiliki Pelangi. Cantik, pintar, dan baik hati. Sebuah paket lengkap.
Hari-hari terasa begitu menyenangkan buat Diaz. Dimana ada Pelangi disitu ada Diaz dan sebaliknya. Hubungan keduanya pun telah mendapat lampu hijau dari kedua orang tua mereka. Sampai akhirnya Diaz harus mengabarkan berita gembira itu pada Pelangi. Berita gembira yang sekaligus menjadi dilema.
"Aku harus ke Australia," kata Diaz malam itu. Mereka berbincang di taman depan rumah Pelangi.
"Australia?" Kalimat Diaz membuat Angie, begitu panggilan sayang Diaz untuk Pelangi, merasa sangat terkejut. Terbayang sudah hari-hari sepi tanpa Diaz.
"Nggak lama kok. Cuma dua tahun. Ada beasiswa dari perusahaan ayah."
"Terus, aku gimana? Pasti bakalan sepi kalau nggak ada kamu....." Pelangi merajuk.
"Duuh.....yang ngambeg! Kamu kan juga bakalan sibuk Angie cantik. Pekerjaan kamu di BUMN pasti akan menyita waktumu. Kita pasti bisa lewati semua. Lagian, kan bisa japri. Haree geneee masih bingung kalau kangen? Basee kelleus! Kita bisa chatting, video call, telpon, banyak dah caranya. Udah dong manyunnya. Jelek tau!" Diaz mencubit hidung mancung Pelangi.
Sementara Pelangi hanya bisa pasrah menerima cubitan itu meski kesal karena tak sempat berkelit.
Dan mereka pun membuktikan bahwa dua tahun itu bisa mereka lewatkan dengan mudah. Kesibukan masing-masing bisa mengalihkan perhatian dari rindu yang mendera. Rindu yang tak tertahankan tetap dapat tersalurkan dengan bantuan teknologi, dari sekedar say hello, candaan, atau foto-foto aktifitas mereka masing-masing.
***
“Aku kangen sekali, Angie.” Diaz menatap wajah Pelangi dengan pendar-pendar kerinduan di matanya. Sementara Pelangi pun demikian, kerinduannya tak mampu disembunyikan.
Malam itu, sehari setelah kepulangan Diaz ke Indonesia, mereka makan malam di sebuah rumah makan favorit mereka semasa kuliah, sambil mengenangkebersamaan mereka. Pelangi sangat berharap dia bisa segera bersanding dengan Diaz di pelaminan.
Tak henti-hentinya mereka berdua saling bersitatap.
“Aku juga. Kenapa sih nggak pernah pulang kalau liburan? Kangennya jadi numpuk nih!"
“Aku kan sudah bilang, aku di sana sambil bekerja, ngumpulin duit untuk modal. Siapa tahu bisa buat biaya pernikahan kita.” Mata Pelangi langsung bersinar mendengarnya. Memang itu yang ingin di dengarnya malam ini.
“Jadi apa rencanamu setelahini?”
“Sebenarnya aku sudah ditawari pekerjaan di perusahaan ayah. Tapi aku ada tawaran yang lebih menarik.”
“Maksudmu?” Pelangi mengernyitkan dahinya.
“Emm.....nggak enak kalau mbahas ini sekarang. Kapan-kapan aja ya? Malam ini aku cuma pengen kangen-kangenan aja sama kamu,” sambung Diaz.
“Tapi, Diaz....”
“Ssst..." Diaz meletakkan telunjuknya si bibir, isyarat bahwa pembicaraan itu tak ingin dilanjutkan.
“Bagaimana dengan pekerjaanmu, Ngie? Kamu betah di sana?” Diaz mengalihkan pembicaraan.
“Begitulah.”
Lalu mengalirlah cerita riang soal pekerjaan Pelangi dan teman-teman barunya. Meskipun di dalam hatinya ada sedikit kecewa dan penasaran pada rencana Diaz tentang masa depan mereka.(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H