Mohon tunggu...
Mutiara Fitri Insani
Mutiara Fitri Insani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

I write on behalf of my unspoken thoughts.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tobrut, Istilah Seksis Berkedok Gaul

13 Juni 2024   15:07 Diperbarui: 13 Juni 2024   16:36 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Derasnya aliran gelombang tren di internet yang arusnya berubah kian hari seolah menuntut individu untuk selalu tahu dan mengikuti tren terkini. Hal tersebut berdampak pada kegiatan komunikasi sehari-hari, terutama dalam penggunaan bahasa gaul yang menjadi indikator seseorang dianggap trendi. 

Jumlah bahasa gaul yang ada di internet saat ini sudah tak terhitung banyaknya, bahkan beberapa istilah yang muncul justru tidak lagi dapat dianggap sebagai candaan, melainkan mengarah pada penghinaan. Salah satu istilah negatif yang populer dan gemar digunakan masyarakat sekarang adalah tobrut. Istilah seksis yang menghina perempuan.

Tobrut merupakan istilah yang menandakan bahwa seorang perempuan memiliki payudara besar. Istilah ini awalnya muncul pada kolom komentar postingan TikTok, yang semakin lama semakin tersebar di beberapa media sosial lain. 

Istilah ini digunakan untuk menilai perempuan berdasarkan fisiknya, banyak orang sering meninggalkan komentar di bawah postingan perempuan yang mereka pikir pantas untuk mendapatkan istilah tersebut.

Diskusi mengenai munculnya istilah seksis ini memicu banyak kontroversi di media sosial. Banyak pihak--terutama perempuan--yang marah, terhina, kesal, dan murka terhadap siapapun yang menciptakan dan turut menggunakan istilah ini. Perempuan dipandang hanya sebagai objek seksual, penilaian yang hanya berlandaskan hawa nafsu semata.

Fenomena ini bukanlah suatu hal yang baru, sebelumnya sudah banyak kalimat seksis serupa yang tidak asing lagi di media sosial, yaitu "Ada yang bulat tapi bukan tekad.", "Ada yang rata tapi bukan jalan.". 

Hal ini tidak hanya terjadi pada perempuan, laki-laki juga mengalami hal yang sama, seperti "Ada yang tegak tapi bukan keadilan.", "Ada yang nusuk tapi bukan jarum". 

Ironinya, lelucon-lelucon di atas semakin marak penggunaannya karena masyarakat menganggap itu tidak lebih sebagai bahan bercanda sehingga hal ini dapat mendorong terciptanya kehidupan sosial yang terus-menerus menoleransi tindak pelecehan verbal terhadap perempuan dan laki-laki.

Ruang aman bagi perempuan untuk berekspresi secara bebas terasa semakin sempit dan sesak. Entah di dunia nyata maupun di media sosial, eksistensi pelaku tindak pelecehan verbal rasanya tidak pernah absen. Apa yang sepantasnya jadi hal normal pun diseksualisasi. 

Norak, kata yang cocok untuk menggambarkan para oknum yang secara langsung menyadarkan sebarapa langgengnya budaya patriarki berdampak pada sistem sosial secara keseluruhan, menyebabkan sulitnya perempuan diperlakukan murni sebagai makhluk hidup, bukan alat pemuas hasrat seksual mereka.

Bagi sebagian orang yang berpikir bahwa istilah gaul yang sedang tren saat ini adalah hal sepele yang lambat laun akan tergantikan oleh tren selanjutnya, pemikiran tersebut sangat keliru. Ini bukan hanya sekadar tren. 

Sedikit mereka tahu justru ini adalah akar dari pelecehan, bahkan kekerasan seksual secara lanjut. Lantas, harus menunggu seberapa banyak lagi korban pelecehan verbal untuk pada akhirnya mereka pantas mendapatkan kebebasan dan kenyamanan layaknya makhluk sosial yang seharusnya didapatkan sejak awal? Kapan pemerintah segera menjerat para pelaku tanpa harus mendiskriminasi perasaan korban terlebih dahulu?

Perlu diingat sebagai pengguna media sosial yang aktif bahwa tidak semua tren bersifat positif dan patut untuk diikuti. Pentingnya untuk selalu selektif terhadap segala bentuk perubahan yang terjadi pada masyakarat agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan asusila. 

Tidak mengikuti tren bukan berarti tidak gaul. Gaul yang sebenarnya justru menghibur dan menyenangkan, bukan menyakiti dan menghina seseorang. Baik perempuan dan laki-laki, memiliki hak yang sama untuk menggunakan media sosial sebagai sarana mengeskpresikan diri secara bebas tanpa mendapatkan perlakuan yang tidak diinginkan. 

Bijak menjaga lisan dan tulisan merupakan kunci utama terbentuknya sistem sosial yang harmonis dan nyaman. Kepedulian dan kerja sama dari berbagai pihak juga dibutuhkan agar perubahan menuju kebaikan dapat segera terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun