Bayangan pemuda itu menghilang, ketika suara Erna menggema masuk telinga. "Carmen, maafkan harus mengatakan ini, bisakah kau membantuku?"
"Tentu."
~~~
"Matur nuwun, dokter..." perempuan tua itu berterimakasih pada Carmen, setelah melakukan pemeriksaan kesehatan.
"Sama-sama, nini," balasnya ramah.
Petang menjelang, Carmen masih memberikan layanan kesehatan terhadap penduduk di markas rahasianya, pada salah satu pemukiman kumuh.Â
Bulan November tahun kemarin, tidak sengaja dirinya menemukan tempat ini ketika seorang anak perempuan menangis meminta pertolongan untuk ayahnya yang terjatuh dari gedung bangunan dan terluka. Carmen pun berinisiatif mengikuti anak itu lalu mengobati pria paruh baya yang terluka kakinya.Â
Ketika memperhatikan sekitar, Carmen baru menyadari pemukiman terpencil ini berisi masyarakat pribumi miskin memprihatinkan. Kaum pribumi tidak mendapatkan layanan kesehatan dengan baik, karena diskriminasi kental pada masa pemerintahan koloni saat ini. Dia juga berada diposisi tidak mungkin untuk membantu orang secara terang-terangan.
Maka dari itu, diam-diam Carmen membuka klinik yang menyediakan layanan kesehatan di sana, dimana dia bisa menolong kaum malang. Setidaknya, inilah yang bisa dia lakukan untuk membantu banyak orang menggunakan tenaga yang dia punya. Sampai saat ini semuanya tampak baik, Carmen dapat membagi waktunya antara Militare Hospital maupun kliniknya.
Carmen menyelesaikan pekerjaan cepat sebelum berniat pulang. Namun, derap langkah diiringi pantulan tegap pada tembok membuatnya menghentikan jejak kemudian berbalik. Perempuan itu terkejut, "William?"
Pria itu tersenyum tenang menatapnya lurus, "Apa kabar, dokter?"