Semester lima, katanya semester ini adalah semester yang paling hectic di antara semester lainnya. Kesibukan-kesibukan kuliah perlahan namun pasti kian menguras tenaga dan waktuku. Oh tentunya, di semester yang mulai memasuki julukan tua ini, aku tersadar akan suatu hal.
Semester demi semester yang telahku lewati berlalu begitu saja. Padahal di tiap semester ada berbagai kenangan yang telah kubuat. Sayang sekali rasanya Aku tidak mengabadikan masa-masa tersebut dalam bentuk tulisan.
Kenangan-kenangan tersebut memang terekam dalam memoriku. Memori-memori itu yang menemaniku untuk sekadar mengingat masa lalu. Setiap canda tawa dan suka duka yang kulalui menyimpan berbagai kasih dibaliknya. Kisah yang penuh emosi, konflik, orang-orang, tempat, suasana dan bau. Â Permasalahannya, sejauh mana Aku akan mengingat masa-masa itu?
Dahulu, Aku belum sadar betul pentingnya menulis. Selayaknya pemikiran anak sekolahan yang terbiasa menghapal, Aku tidak terpikir untuk menciptakan sesuatu. Menulis pun merupakan hal yang baru Aku sentuh kembali akhir-akhir ini. Sebelumnya, Aku pernah mengirimkan tulisanku kepada sebuah komunitas penulis di Instagram. Dengan bantuan temanku, tulisan-tulisanku sempat diunggah beberapa kali. Tapi sudah lah, itu sudah lama sekali.
Kembali, di semester lima ini, Aku mengambil mata kuliah Menulis Kreatif. Mata kuliah ini secara tidak langsung menjadi pemantik passion-ku yang terlah terkubur lama. Di tiap pertemuan kuliah ini Aku semakin seberapa penting sebuah tulisan. Aku menyadari seberapa pentingnya untuk merekam tiap-tiap hal yang terlintas di kepalaku. Aku menyadari seberapa pentingnya menulis.
Dalam suatu pertemuan, dosen mata kuliah ini mebagikan buku Kecelakaan Intelektual di Sumatra Barat karya bapak Zaiyardam. Ya, beliau merupakan juga salah satu dosen pengampu mata kuliah ini. Beliau meminta kami untuk membaca bagian Wisata Intelektual: Menulis sebagai Kenangan dan Menulis sebagai Panggilan Jiwa. Â Di dalamnya tertulis bahwa Menulis itu candu dan menulis itu dapat dimulai dari hal sederhana.
Bolehkah Aku berkata bahwa, bacaan ini benar-benar membakar Jiwaku saat itu? Hanya saja, api yang berkobar itu tidak langsungku isi kembali dengan kayu bakar. Jiwa itu sempat menjadi arang dalam beberapa minggu.
Aku sempat takut untuk menulis. Aku takut tulisanku akan dibaca orang lain lalu diejek. Aku takut tulisanku akan menyinggung orang  lain nantinya. Aku takut tulisanku tidak dibaca oleh siapapun. Aku takut tulisan ini hanya menjadi tinta di atas kertas yang tak berarti.
Beruntung, arang dapat hidup kembali dengan bantuan tiupan angin, serabut-serabut katu dan pemantik kecil. Aku membaca kembali buku tersebut dan aku sadar akan suatu hal. Menulis itu adalah perbaikan yang berulang. Aku tidak lagi takut untuk memulai menulis. Akan kujadikan rasa takut itu sebagai penanda bahwa Aku berani untuk memulai. Akan kujadikan menulis ini sebagai sebuah candu.
Akan ada masanya Aku membaca kembali tulisan-tulisan yang pernah kutulis. Akan ada masanya Aku mengingat kembali kenapa Aku memulai. Akan ada masanya Aku bersyukur karena pernah menulis. Pada masa itu datang, tak bisaku bayangkan betapa bangganya Aku pada diri sendiri karena penah menulis.
Sekarang, akan aku unggah tulisan ini. Akan Aku unggah tulisan ini sebagai jejak bahwa Aku pernah berada dititik ini. Akan Aku unggah tulisan ini sebagai tanda bahwa aku pernah ada di dunia ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H