HALO Surabaya, Hai Semarang…
Dari kawasan Bromo kami naik kolt menuju Probolinggo. Dalam kolt kami bertemu beberapa turis asing Jepang dan China. Sekitar setengah jam dengan jalur meliuk-liuk kami kembali ke Probolinggo. Dari Probolinggo kami naik bis menuju Surabaya.
Sekitar jam 3 sore, kami tiba di terminal Bungurasih. Tak ingin melewatkan menjelajah Surabaya, kami naik bis seperti Damri menuju pusat kota. Satu hal yang paling gw inget saat itu, Surabaya kota yang bersih dengan pinggir jalan yang terawat. Kami mampir ke tugu Buaya dan Hiu sebagai ikon penting Surabaya yang berada di depan pintu masuk kebun binatang. Dari sana, kami naik angkot (angkot di Surabaya bersih, bahkan terdapat tempat sampah kecil di sudut serta bel untuk memberitahukan supir berhenti) menuju mol paling Hiets di Surabaya namanya. Kami makan di food court, melalui jembatan penyebrangan yang juga bagus dan tampak rapih kami kembali naik Damri menuju terminal Bungurasih.
Menjelang pukul 8 kami naik bis lagi kembali menuju Semarang. Perjalanan Surabaya – Semarang melalui jalan darat memakan waktu sekitar 6-7 jam. Kami berhenti sekali di (lupa tempatnya) untuk makan dan buang air kecil. Kami tidur saat bis berhenti, namun segera membuka mata, cuci muka, sikat gigi dan makan malam yang kelewat malam. Makanan di kantin terbuka yang rasa makanannya biasa saja tapi cukup mengganjal perut yang kelaparan.
Tiba di Semarang sekitar jam 3 Pagi. Hari itu harusnya kami kembali menginap di kosan teman bernama Uci. Namun, karena tiba terlalu pagi, adalah tidak sopan mengetuk sebuah kamar di pagi buta. Berjalanlah kami menuju MCD 24 jam, menunggu, memesan kopi, French Fries dan apapun untuk dimakan sembari mendengarkan musik yang diputar terlalu keras untuk sebuah restoran keluarga.
Menuju jam 6 pagi, setelah sholat subuh kami berjalan mencari taksi menuju kosan Uci. Tiba di kosan Uci, kami melanjutkan tidur hingga sekitar jam 10. Uci berbaik hati menggorengkan kami ikan dan baso tahu yang enak sekali. Setelah mandi dan beberes, kami makan makanan buatan Uci yang sangat enak dan merencanakan menjelajah beberapa bagian Semarang sebelum pulang ke Jakarta.
Karena jarak yang tak terlalu jauh menurut Uci, kami berjalan kaki sambil menikmati Semarang yang udaranya sedang ramah menuju tempat makan siang. Kami mendapat rekomendasi untuk mencoba restoran tua yang menyajikan makanan ala barat juga makanan khas Semarang serta Jawa bernama ISTANA WEDANG. Makanan khas jawanya macam-macam, namun yang menarik hati saat melihat menu ke bagian Ronde dan sejenisnya. Gw pesan itu, karena hari itu Semarang agak sedikit mendung. Menu makanan yang kita pesan ala barat yaitu steak.
LAWANG SEWU…
Setelah kenyang makan di ISTANA WEDANG. Kami berjalan kaki lagi menuju bangunan yang sudah memanggil kami sejak tiba pertama kali di Semarang. Yup, Lawang Sewu. Masuk Lawang Sewu membayar Rp 10.000 (2011) dan agar perjalanan kami lebih menyenangkan serta tidak sia-sia kami membayar jasa Pemandu Wisata sebesar Rp.30.000. Bangunan Lawang Sewu sebenarnya bagian dari komplek Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappijatau kantor pusat perusahaan kereta api swasta pada Zaman Belanda.Bangunan utama Lawang Sewu yang menyimpan beberapa koleksi lokomotif sedang direnovasi dan tak bisa dikunjungi saat itu. Namun ada bagian Lawang Sewu yang masih terbuka untuk umum.
Lawang sewu dibangun pertama kali oleh pemerintah kolonial Belanda pada Februari 1904. Kemudian beralih fungsi menjadi penjara saat penjajahan Jepang dan setelah merdeka pernah berubah-ubah fungsi dari gedung PT.KAI, pemerintahan sementara hingga berakhir menjadi Museum. Sebagain besar bangunan yang kami datangi kotor, berdebu terlalu banyak dan dengan barang peninggalan yang nyaris tidak terawat. Bangunan yang kami datangi terdiri dari dua lantai ditambah satu lantai seperti loteng di atap yang cukup besar, berdebu dan dipenuhi sarang laba-laba.
Saat kami ke sana, mendung menggantung di awan Semarang dan semakin gelap saat kami masuk bangunan Lawang Sewu, memberikan kesan semakin seram. Setelah mejelajah semua lantai kami, sang pemandu menawari kami menjelajah ruang bawah tanah yang pada saat penjajahan Jepang dipergunakan sebagai tempat penjara dan eksekusi. Bayangkan sodara…
Langit mendung berubah gelap dan mengguyur hujan lebat. Lawang Sewu semakin gelap dan kami ditantang menjelajah bawah tanah yang suram ditemani deru hujan lebar dengan petir yang menyambar-nyambar. Gw dan Depit dengan ditemani sang pemandu wisata mencoba menguji nyali dan mendapat kisah baru tentang sisi kelam Lawang Sewu.
PENJARA BAWAH TANAH
Masuk ke dalam ruang bawah tanah, kita harus membayar lagi IDR 5000. Memakai boot karena ruang bawah tanah selalu digenangi air dan saat hujan genangan air akan meninggi. Dipandu sang pemandu wisata gw dan Depit masuk menuruni tangga dari lorong sempit di bawah tanah. Gelap, gelap, hanya ada cahaya obor di setiap beberapa meter dan senter dari sang pemandu. Nia tidak ikut, ia tidak cukup berani hal-hal seperti itu.
Yang memuakkan adalah saat kami dipaksa mendengar cerita sambil melihat keadaan penjara yang mengenaskan. Jangan bayangkan penjara-penjara yang ada sekarang. Penjara zaman pendudukan Jepang ada tiga, penjara berdiri dan jongkok. Penjara berdiri hanyalah petak sekitar 80X80 cm berteralis yang harus diisi sekitar 5 orang. Sedangkan penjara jongkok lebih mengerikan, bentuknya seperti kolam ikan setinggi 80 cm dan lebar 2 meter serta panjang sekitar 5 meter. Diisi lebih dari 10 orang yang harus berjongkok terus-menerus selama dipenjara, tanpa makan, dan saat hujan seperti ini sebagian tubuhnya akan terendam air. Tak jauh dari penjara jongkok ada sebuah tempat eksekusi dengan pedang. Satu demi satu pejuang yang dianggap terlalu berbahaya atau alasan lainnya akan dipenggal. Kepala ini panas, hati mendidih dan perasaan tak karuan.
SAYONARA SEMARANG
Kembali dari ruang bawah tanah ada perasaan berbeda. Entah, seperti harus berkata “Terima kasih atas perjuangan-perjuanganmu para pahlawan”. Sambil menunggu hujan reda kami berfoto. Lalu berjalan menuju daerah Padanaran untuk berbelanja oleh-oleh dan menuju stasiun Tawang naik kereta kembali ke Jakarta. Tiba di Jakarta pagi sekitar jam 6 untuk langsung kembali bekerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H