Hadiah Non-Tunai dan Penghasilan Komersial Lainnya
Selain pendapatan tunai, para atlet juga dapat menerima hadiah non-tunai seperti mobil, perhiasan, atau barang berharga lainnya. Hadiah-hadiah ini juga dianggap sebagai objek pajak dan dikenakan PPh berdasarkan nilai pasar barang tersebut. Nilai pasar dari hadiah ini akan ditambahkan ke total penghasilan atlet dan dikenakan tarif pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 UU PPh.Â
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pemerintah memberikan kebijakan pengecualian pajak atas bonus, pendapatan lain yang diterima oleh atlet tidak mendapat perlakuan yang sama. Selain itu, atlet juga sering memperoleh pendapatan dari kegiatan komersial lainnya, seperti penampilan di acara publik atau kontrak iklan.Â
Pendapatan dari kegiatan ini dianggap sebagai penghasilan dan dikenakan pajak dengan tarif progresif sesuai dengan jumlah total penghasilan. Biasanya, pihak yang membayar akan memotong PPh 21 sebelum membayar kepada atlet, dan atlet harus memastikan bahwa pemotongan ini tercatat dengan benar dalam laporan pajak tahunan mereka.
Hadiah dari Organisasi Internasional dan Komite Olimpiade
Atlet mungkin juga menerima hadiah dari organisasi internasional atau komite Olimpiade. Hadiah ini bisa berupa uang tunai, perhiasan, atau barang berharga lainnya. Perlakuan pajak terhadap hadiah ini tergantung pada peraturan perpajakan internasional, termasuk Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku antara Indonesia dan negara pemberi hadiah.Â
P3B bertujuan untuk menghindari pemajakan ganda atas penghasilan yang diterima di luar negeri. Jika hadiah diterima dari negara yang memiliki perjanjian P3B dengan Indonesia, pajak yang dibayar di negara pemberi hadiah dapat dikreditkan atau dikurangkan dari kewajiban pajak di Indonesia, sesuai dengan Pasal 24 UU PPh.
Bagaimana Negara Lain Menerapkan Pajak atas Bonus Atlet?
Melihat perlakuan pajak di negara lain, pembebasan pajak atas bonus atlet bukanlah hal yang asing. Misalnya di Amerika Serikat (AS), sejak 2016, AS telah memiliki UU yang membebaskan atlet dari pajak atas medali dan uang yang mereka terima di acara olahraga internasional, asalkan penghasilan mereka di bawah ambang batas yang sudah ditentukan.Â
Di negara lain seperti Filipina, pemerintah juga memberikan insentif pajak bagi atlet yang berprestasi dengan membebaskan pajak atas hadiah dan bonus yang diterima dari kemenangan di ajang internasional, termasuk Olimpiade. Kebijakan-kebijakan ini menunjukkan bahwa banyak negara memahami pentingnya memberikan insentif bagi atlet nasional yang berprestasi di panggung internasional. Namun, di Indonesia, meskipun kebijakan pembebasan pajak atas bonus dari pemerintah telah diterapkan, belum ada aturan khusus yang mengaturnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kesetaraan dan konsistensi dalam kebijakan perpajakan.
Keberhasilan para atlet Indonesia di Olimpiade Paris 2024 tidak hanya membawa kebanggaan bagi bangsa, tetapi juga menyoroti perlunya evaluasi kebijakan perpajakan yang berlaku bagi mereka. Pajak atas bonus bisa menimbulkan pandangan yang berbeda di masyarakat.Â
Di satu sisi, banyak yang berpendapat bahwa pembebasan pajak adalah bentuk penghargaan yang layak diberikan kepada atlet yang telah berjuang dan mengharumkan nama bangsa. Namun, di sisi lain, prinsip keadilan pajak harus tetap diperhatikan. Pajak seharusnya tidak memihak satu golongan atau individu, dan harus diterapkan secara adil berdasarkan hukum positif.Â
Dalam konteks ini, pembebasan pajak atas bonus atlet bukan hanya soal teknis perpajakan, tetapi juga tentang bagaimana negara menghargai kontribusi mereka dalam olahraga. Pemerintah perlu terus mengevaluasi dan menyesuaikan kebijakan perpajakan agar sesuai dengan perkembangan zaman serta tetap menjaga integritas sistem perpajakan yang adil dan transparan. Â