Olimpiade Paris 2024 yang berlangsung dari 26 Juli hingga 11 Agustus 2024 menjadi saksi kehebatan para atlet dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagai salah satu negara yang turut berpartisipasi, Indonesia berhasil meraih prestasi gemilang dengan membawa pulang dua medali emas dan satu medali perunggu.Â
Veddriq Leonardo memenangkan medali emas dalam cabang olahraga panjat tebing, Rizki Juniansyah meraih emas di angkat besi, dan Gregoria Mariska Tunjung berhasil membawa pulang perunggu dari cabang bulutangkis. Prestasi ini tidak hanya membanggakan bagi bangsa, tetapi juga menimbulkan pertanyaan terkait kebijakan perpajakan atas bonus yang diterima para atlet berprestasi tersebut.
Bonus untuk Para Atlet
Sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi dan kerja keras yang telah ditunjukkan oleh para atlet, Presiden Indonesia, Joko Widodo, memberikan bonus khusus kepada mereka. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dengan cepat mengumumkan bahwa bonus yang diberikan kepada para atlet peraih medali ini akan bebas dari pajak.Â
Kebijakan ini seolah menjadi angin segar bagi para atlet, yang sudah bekerja keras mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Tujuannya jelas, yaitu untuk memastikan bahwa para atlet dapat menikmati hasil jerih payah mereka tanpa harus terbebani oleh pajak yang umumnya dikenakan atas pendapatan tambahan seperti ini. Keputusan untuk membebaskan bonus atlet dari pajak memang bukan hal baru di Indonesia.Â
Pada tahun-tahun sebelumnya, kebijakan serupa juga diterapkan untuk atlet yang berprestasi di berbagai ajang internasional. Namun, apakah langkah ini benar-benar adil dan tepat? Sebuah pertanyaan yang patut dipertimbangkan dalam konteks kebijakan perpajakan yang lebih luas.
Pandangan Hukum atas Bonus
Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, merupakan objek pajak. Penghasilan tersebut termasuk gaji, upah, honorarium, tunjangan, bonus, dan imbalan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.Â
Bonus yang diterima oleh atlet, pada dasarnya, merupakan objek pajak yang dikenakan tarif pajak progresif sesuai Pasal 17 UU PPh. Namun, pemerintah mengambil langkah untuk memberikan pengecualian pajak bagi bonus yang diberikan kepada para atlet peraih medali Olimpiade.Â
Hal ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam mendukung dan menghargai prestasi atlet. Langkah pembebasan pajak ini tentu saja disambut baik oleh para atlet dan masyarakat umum. Namun, di sisi lain, hal ini juga menimbulkan perdebatan tentang keadilan dan kesetaraan dalam perlakuan pajak. Mengapa hanya bonus dari pemerintah yang dibebaskan dari pajak? Bagaimana dengan pendapatan lain yang diterima oleh atlet, seperti dari sponsor atau kontrak iklan?
Perlakuan Pajak atas Pendapatan Lainnya
Di luar bonus dari pemerintah, atlet sering kali menerima pendapatan tambahan dari berbagai sumber lain, seperti sponsor dan endorsement. Berbeda dengan bonus dari pemerintah, pendapatan ini tetap dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika pendapatan tersebut diberikan dalam bentuk tunai, maka dikenakan PPh Pasal 21 dengan tarif progresif sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).Â
Tarif PPh Pasal 21 mulai dari 5% hingga 35% tergantung pada jumlah penghasilan kena pajak (PKP) tahunan. Selain itu, jika pendapatan yang diterima berupa royalti dari penggunaan nama atau gambar atlet dalam iklan, maka dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 15% dari jumlah bruto, sesuai dengan UU HPP. Ini menunjukkan bahwa meskipun bonus dari pemerintah dibebaskan dari pajak, atlet tetap harus membayar pajak atas pendapatan lain yang mereka terima, sering kali jumlahnya tidak kalah besar dari bonus pemerintah.