Mohon tunggu...
Mutiara Aini Milia fajrin
Mutiara Aini Milia fajrin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku dan Kehendak-Nya

31 Maret 2021   22:28 Diperbarui: 31 Maret 2021   22:41 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu kata 'hijrah' dikalangan anak muda belum booming seperti sekarang. Kajian-kajian sunnah juga belum tersebar luas di kotaku. Apalagi wanita yang menggunakan khimar panjang dan cadar jarang sekali ditemukan. Maklum kota ini salah satu kota besar yang dimana orang-orang bermimpi untuk melanjutkan kuliah disini, tinggal disini atau bahkan sekedar berlibur. Tapi siapa sangka, aku termasuk dari orang-orang yang ditakdirkan Allah untuk berhijrah.

***

Labu Erlenmeyer, tabung-tabung reaksi, bau menyengat dari lemari asam atau bau busuk dari media biakkan bakteri adalah hal-hal yang menemaniku setiap harinya. Jas laboratorium-ku yang sudah tak putih lagi, bahkan terdapat beberapa lubang karena terkena zat kimia. 

Aku selalu takjub dengan warna-warna indah yang dihasilkan ketika perubahan pH suatu larutan pada proses titrasi, atau ketika hilangnya warna ungu dari larutan kalium permanganat yang diteteskan hidrogen peroksida. Jangankan pada reaksi itu, serbuk berbagai macam logam pun jika terkena api akan menghasilkan warna-warna yang indah. 

Aku tidak bosan ketika harus minum susu setelah keluar dari lab untuk menetralkan kondisi tubuhku karena sudah terpapar zat-zat itu. Meskipun resiko yang sangat berbahaya, tapi aku menyukai ini dan aku ingin terjun lebih dalam lagi. Aku merasa inilah passionku.

Mimpiku yang sudah kurajut harus terputus tiba-tiba saat ibuku memberikanku sebuah tiket pesawat. Bukan untuk liburan, tapi untuk menetap disana.  Ya, aku harus pergi jauh menyebrangi pulau yang aku tidak tau seperti apa disana. Air mataku mengalir sangat deras, dadaku terasa sesak, bibirku terus menggerutu kesal. 

Bukankah aku sudah besar? Bukankah aku berhak untuk diajak berdiskusi? Bukankah ini tahunku untuk memasuki bangku kuliah? Aku kan ingin kuliah disini. Kenapa? Kenapa harus pindah ke tempat yang sangat jauh? Kenapa tiba-tiba seperti ini?

***

Aku tinggal di sebuah rumah yang membuatku malu bahkan untuk keluar dari pintunya. Bagaimana tidak, rumah ini berada di tengah-tengah lingkungan yang biasa disebut dengan Islamic Center. Tidak ada seorang remaja yang memakai pakaian seperti yang aku pakai ini. Bahkan, anak kecilpun dibiasakan untuk memakai gamis dan cadar. Merasa asing tinggal di tempat seperti ini. Aku malu dan hanya bisa mengurung diri ditemani kesedihanku.

Pemilik rumah ini adalah tanteku, aku tidak terlalu dekat dengannya karena keluarganya jarang sekali pulang ke kota kami. Ia memberiku beberapa gamis dan khimar panjang. Akhirnya aku memakai pakaian itu juga, dengan terpaksa tentunya. 

Aku memakainya agar aku bisa keluar rumah, tidak lebih dari itu. Ibuku juga menyuruhku untuk mengikuti kajian yang rutin diadakan di mesjid ini, bergaul dengan remaja yang seumuran, bahkan sampai ikut setoran hafalan al-Qur'an dengan para santri. Aku menurutinya tanpa ada rasa ikhlas di dalam hati. Emosiku masih mengendalikan tubuh ini. Ide-ide buruk bermunculan setiap harinya. Ah, aku tidak suka dengan semua ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun